Pilihan Politik Pengaruhi Perilaku Warganet Indonesia


Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kanan) dan Ma'ruf Amin (kanan) serta pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto (kedua kiri) dan Sandiaga Uno (kiri) berfoto bersama Ketua KPU Arief Budiman usai Pengundian dan Penetapan Nomor Urut Capres dan Cawapres Pemilu 2019 di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (21/9/2018). / Foto: Kiki Budi Hartawan/aktualitas.id

Media sosial tak lagi dianggap memengaruhi pilihan politik netizen atau warganet Indonesia. Sebaliknya, pilihan politik justru memengaruhi perilaku mereka di dunia maya, khususnya dalam menggunakan media sosial (medsos).

Selama ini, media sosial kerapkali dipandang memengaruhi opini publik dalam menilai suatu peristiwa, utamanya yang terkait dengan politik. Namun, menurut pakar komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kuskridho Ambardi, teori itu tak berlaku sepenuhnya di Indonesia.

Perilaku netizen dalam berselancar dan berinteraksi di dunia maya disebut erat kaitannya dengan pilihan politik mereka, khususnya menjelang Pemilu 2019.

“Selama ini para elit berpikir tentang efek media, dan berpikir mereka (publik) bisa dibentuk. Ternyata tidak begitu.”

“Mereka aktif tapi mencari media yang cocok dengan pandangannya, yang cocok dengan pilihan politiknya,” kata pria yang kerap disapa Dodi Ambardi ini dalam peluncuran hasil survei Media Sosial, Hoaks, dan Sikap Partisan Dalam Pilpres 2019 di Jakarta (8/1).

Pengguna medsos, kata Dodi, begitu terpecah-pecah. Jika pengamat hanya berbicara tentang efek media sosial secara umum maka hal itu dinilainya menyederhanakan persoalan.

“Jadi yang terjadi itu monolog bukan dialog, tidak benar internet itu membuka informasi,” ujarnya setengah berkelakar, seraya memberi contoh perilaku pendukung masing-masing pasangan capres-cawapres Indonesia di percakapan grup Whatsapp (WA) yang dimilikinya.

“Di grup A, begitu pendukung paslon 1 posting, pendukung satunya langsung del…del (hapus). Sama juga kalau pendukung paslon 2 yang posting, pendukung paslon lawannya juga langsung del…del. Di grup yang lain begitu juga kelakuannya” kata Dodi.

Survei nasional tentang Media Sosial, Hoaks dan Sikap Partisan Dalam Pilpres 2019 yang digelar Indikator Politik Indonesia mengungkap, capres pejawat Joko Widodo, secara umum, unggul di kalangan pengguna internet dibanding penantangnya, Prabowo Subianto.

Meski demikian, elektabilitas Jokowi justru paling tinggi berada di kalangan non-pengguna internet.

“Lima puluh dua persen pengguna internet mendukung Jokowi-Ma’ruf dibandingkan Prabowo-Sandi yang hanya dipilih 39 persen pengguna. Tapi yang memilih paslon nomor 1 justru lebih banyak dari kalangan non-pengguna, jumlahnya 57 persen,” terang Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator (8/1/2019).

Survei ini juga mengungkap betapa netizen yang semakin tertarik pada isu politik, maka semakin besar peluangnya untuk terpapar isu-isu personal dari capres.

Ada sekitar 20 persen responden yang pernah mendengar tuduhan bahwa Jokowi terlahir dari orang tua non-Muslim. Di sisi lain, sekitar 30 persen responden pernah mendengar isu keterlibatan Prabowo dalam kasus penculikan aktivis tahun 1997/1998 lalu.

“Media sosial atau media mainstream itu memfasilitasi orang untuk terekspos berita tentang persoalan pribadi capresm,” kata Burhan.

Hoaks tak beri manfaat

Terkait beredarnya hoaks atau berita bohong tentang kedua paslon di media sosial, tim pemenangan masing masing-masing kubu kompak menyampaikan kecaman mereka.

Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto mengatakan semakin banyak hoaks dan fitnah yang muncul, semakin terbelah-lah masyarakat Indonesia.

“Semakin banyak fitnah semakin kita hidup di dua dunia. Hoaks dan fitnah hanya memperkuat militansi internal dan tidak memberi dampak terhadap elektabilitas,” paparnya saat menjadi salah satu pembicara dalam peluncuran survei nasional (8/1) tersebut.

Ia menerangkan, hoaks jelas sekali tidak memberi manfaat.

“Hoaks itu membawa ancaman yang lebih besar, meski dari hasil survei tadi tidak terlalu memberi dampak. Contohnya, bagaimana kemudian mereka membenci setiap keberhasilan,” ujar Hasto.

Sementara Mardani Ali Sera dari tim pemenangan Prabowo-Sandi, sekaligus pembicara lain dari survei Indikator tersebut, mengatakan hoaks sulit untuk dibenarkan.

“Hoaks itu penyakit, jadi dari sisi manapun tidak bisa dibenarkan. Hoaks ini dalam beberapa hal agak menjadi kanker untuk demokrasi kita.”

Mardani sepakat dengan anggapan bahwa hoaks makin memecah-belah masyarakat Indonesia.

“Keterbelahan ini mudharatnya besar,” imbuh Mardani.

Kemunculan paslon alternatif di medsos

Medsos tak hanya digunakan sebagai panggung dari masing-masing pendukung paslon dan platform penyebaran berita bohong atau hoaks.

Dua pekan belakangan ini, netizen Indonesia makin sering disuguhi postingan dari atau pemberitaan tentang pasangan Nurhadi-Aldo yang disingkat Dildo.

Lewat humor dan satir, sosok ini muncul di medsos sebagai pasangan capres-cawapres alternatif dengan mengusung nomor 10.

Airlangga Pribadi Kusman, pengamat politik dari Universitas Airlangga, mengatakan, fenomena Dildo adalah bentuk penyegaran dari kampanye Pilpres kebanyakan yang selama ini dianggap menebarkan kebencian.

“Fenomena Dildo menarik untuk mencairkan ketegangan politik dan teguran bagi para kontestan politik untuk berpolitik dengan cerdas dan tidak memainkan sentimen kebencian,” sebutnya kepada ABC (7/1/2019).

Lebih lanjut, Airlangga menjelaskan kemunculan Dildo bisa saja berdampak positif.

“Bagi swing voter, fenomena dildo bisa membawa pemilih swing voter untuk mengerem sentimen kebencian dan kembali berpikir sehat dan kritis dalam partisipasi di Pilpres.”

Analisa senada juga disampaikan Wahyudi Akmaliah, peneliti bidang sosial-budaya dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Menurut Wahyudi, kehadiran Dildo setidaknya menimbulkan perenungan bahwa ada yang salah dalam cara berkampanye dari partai politik Indonesia.

“Tujuannya persis mengembalikan nalar publik kita dengan cara guyonan, yaitu memporak-pondakan sampai dasar mengenai kebodohan, kenakalan, sekaligus kegetiran isu politik di tengah dinamika politik yang membuat kita pengap,” tuturnya kepada ABC.

Ia menjelaskan, pola kemunculan pasangan Dildo sama dengan buzzer (penggaung) anonim, meski memiliki tujuan yang berbeda.

“Kalau buzzer anonim untuk menjatuhkan lawan politik dan menguatkan posisi calon yang didukung. Namun, kalau Dildo justru mentertawai dunia politik dengan menggunakan materi guyonan yang berkembang di masyarakat dan aktivitas meme online.” [ABC]

 

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>