Connect with us

Berita

Gerindra Ungkap Paradoks Kebijakan Pangan Rezim Jokowi

Pemerintah belum mampu mengoptimalkan seluruh potensi dalam negeri yang dimiliki.

Published

pada

AKTUALITAS.ID – Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Edhy Prabowo, mengkritisi konsep kedaulatan pangan yang dijanjikan Jokowi di Pilpres 2014. Meski pemerintah mengklaim telah bekerja keras, namun faktanya kedaulatan pangan saat ini masih jauh dari kenyataan.

Edhy menuturkan, pemerintah belum mampu mengoptimalkan seluruh potensi dalam negeri yang dimiliki. Misalnya tentang pengembangan ternak sapi perah. Padahal, kata dia, pengembangan usaha industri sapi perah di Indonesia mempunyai prospek strategis untuk pengembangan SDM. Ironisnya, 70 persen bahan baku industri sapi perah berasal dari impor.

“Pemerintah harus terus berupaya meningkatkan produksi dan produktivitas sapi perah, yang sebagian berasal dari peternakan sapi perah rakyat,” kata Edhy dalam diskusi Rabu Biru ‘Petani, Nelayan & Ekonomi Rakyat’ di Prabowo-Sandi Media Center, Jalan Sriwijaya I No 35, Jakarta, Selatan, Rabu (16/1/2019).

Dalam kesempatan itu, Edhy mengungkap paradoks kebijakan pangan rezim Jokowi. Dia mencatat, selama tahun 2014 hingga sekarang masih terdapat beberapa kebijakan pemerintah yang bertolak belakang antara satu dengan yang lain. Beberapa kebijakan juga kerap tak sejalan dengan amanah undang-undang sektor pertanian.

Salah satunya adalah kebijakan impor pangan, terutama beras. Hal ini, kata Edhy, bertolak belakang dengan penjelasan Kementerian Pertanian mengenai kondisi data beras yang terus mengalami peningkatan.

Dia memaparkan, menurut Kementerian Pertanian, potensi produksi beras akan terus meningkat. Pada Bulan Januari 2018 sebanyak 2.668.764 ton, Februari meningkat sebanyak 5.388.600 ton, Maret sebanyak 7.441.842 ton, dan April sebanyak 5.283.498 ton.

Dari situ, kata Eddy, data potensi produksi beras yang dimiliki Kementerian Pertanian diabaikan oleh kementerian lain yang tetap ngotot melakukan impor beras. Bahkan tak hanya beras, impor juga dilakukan terhadap komoditas jagung. Padahal di saat yang sama Kementerian Pertanian melakukan ekspor jagung.

“Artinya, impor yang dilakukan selama ini tidak melalui rekomendasi maupun koordinasi dengan menteri teknis tekait,” tegas Eddy.

Eddy menambahkan, fakta lain yang membutikan pemerintah kurang serius dalam mengelola persoalan pangan adalah belum terbentuknya Kelembagaan Pangan. Padahal, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, pasal 126 mengamanatkan untuk membentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Di mana, peraturan pelaksanaannya harus ditetapkan paling lambat tiga tahun sejak UndangUndang ini diundangkan, yaitu November 2015.

“Namun, hingga saat ini kelembagaan pangan yang dimaksud belum juga terealisasi. Presiden dan perangkatnya di pemerintahan terkesan lambat dalam membentuk lembaga pangan. Padahal tugas, pokok dan fungsi lembaga ini sangat diperlukan demi kelangsungan pangan di Tanah Air,” terang Ketua Komisi Pangan DPR RI itu tersebut.

Edhy melanjutkan dari sederet permasalahan itu semua, salah satu penghambat utama dalam terwujudnya kedaulatan pangan adalah keberpihakan anggaran. Edhy pesimis, kedaulatan pangan tercipta bila anggaran sektor pangan dari tahun ke tahun terus dipangkas dan mengalami penurunan.

Dia menuturkan, pada 2015 anggaran Kementerian Pertanian sebesar Rp 32 triliun. Tahun 2016, angka itu dipangkas menjadi Rp 27 triliun. Kemudian di tahun 2017 Rp 24 triliun, tahun 2018 Rp 23 triliun, dan tahun 2019 menjadi Rp 21 triliun.

“Dalam mewujudkan kedaulatan pangan, negara harus hadir dan memiliki komitmen. Selain itu, Negara juga butuh strategi baru dan terobosan baru. Melihat fakta yang ada, strategi dan terobosan baru rasanya hanya akan terjadi pada pemerintahan yang baru. Pemerintahan yang siap mewujudkan bangsa ini menjadi adil dan makmur,” tandas Edhy. [KBH]

Trending



Copyright © 2024 aktualitas.id