Hikmahanto Juwana: Freeport Harus Diaudit BPK


Tambang Freeport (Istimewa)

AKTUALITAS.ID – Sekitar 300-an audien memenuhi Ballroom 2, Hotel J.S. Luwansa, Jakarta Selatan, 29 Januari 2019. Mereka menyimak paparan panelis yang membedah buku Satu Dekade Nasionalisme Pertambangan:Mengungkap Karut-marutnya Implementasi UU Minerba dan Divestasi Freeport yang Penuh Jebakan, anggitan Simon Fellix Sembiring, 70 tahun, mantan Dirjen Mineral dan Batubara 2003-2008. “Acara ini seperti pengukuhan Pak Simon sebagai guru besar,” kata Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), memulai telaahnya.

Hikmahanto mengatakan bahwa proses penggodokkan UU Minerba memang cukup alot. “Prosesnya panjang. Ada beberapa dirjen. Kalau tidak salah ada lima dirjen. Panjang sekali,” katanya. Semangat yang diusung dari UU MInerba pad intinya adalah hilirisasi. “Kita tidak mau hanya menjual tanah dan air. Makanya harus diproses di Indonesia. Ini harapannya jauh ke depan, dimana jika tidak ada lagi tambang, kita punya SDM yang bisa bekerja di tempat lain,” katanya.

Dalam kasus Freeport, perusahaan itu mensejajarkan diri dengan pemerintah Indonesia. Memang pada tahun 1960-an itu bisa terjadi. “Presiden bisa menyatakan atas nama rakyat. Namun, Indonesia mengalami kemajuan-kemajuan,” katanya. Makanya model perjanjian seperti tahun 1960-an tidak bisa dilakukan lagi. “Presiden sekarang tidak bisa seperti itu lagi (mengatasnamakan rakyat). Presiden yang tidak sejalan dengan kehendak rakyat, selesai,” katanya.

Nah, dalam hal perusahaan bisa mengikat pemerintah, itu seperti VOC yang perusahaan bisa mengikat kerajaan-kerajaan. Dalam negosiasi dengan Freeport makanya tidak harus negara. Cukup dengan perusahaan milik negara sebagai kepanjangan pemerintah. “Dengan divestasi, maka Freeport sekarang sudah menjadi anak perusahaannya Inalum, maka harus diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Nanti kalau ada kerugian negara, bisa dipanggil penegak hukum,” katanya.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>