Perkelahian Tentara Gurkha dengan Pejuang Indonesia


Para prajurit Inggris dari unit Gurkha Rifles (thegurkhamuseum.co.uk)

Awal 1946. Jalur Jakarta-Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung kerap dilalui hilir-mudiknya konvoi pasukan Sekutu (Inggris) dari kesatuan British Indian Army (BIA). Pengerahan pasukan secara besar-besaran itu dilakukan guna mengawal pengiriman kebutuhan logistik untuk ribuan prajurit Inggris dan 60.000 bekas tahanan perang Jepang di Bandung.

“Pengiriman dari Jakarta itu kerap berjalan tersendat-sendat karena para pejuang RI tidak pernah membiarkan upaya itu berjalan lancar,” ungkap R.H.A. Saleh dalam Mari Bung Rebut Kembali!

Terganggunya jalur lalu lintas utama itu otomatis mempengaruhi juga keadaan prajurit-prajurit BIA yang menempati pos-pos sepanjang Cianjur-Ciranjang-Bandung. Tak jarang pasokan logistik terlambat hingga seminggu.

Menurut Raden Makmur (93), rasa lapar menyebabkan anggota Gurkha Rifles dari Batalyon 3/3 (yang menjaga pos Cikijing-Ciranjang) liar dan menjarah kampung di sekitarnya.

“Mereka mengambil paksa kambing, ayam hingga telur milik rakyat,” ujar eks anggota lasykar Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) Ciranjang itu.

Akibatnya konflik tak terhindarkan. Tak jarang rakyat sipil pun melakukan perlawanan dan menimbulkan jatuhnya korban yang tak sedikit.

Sebagai contoh, suatu hari satu seksi tentara Gurkha menyerbu pelosok Cikijing. Mereka mengobrak-abrik pesta pernikahan seorang warga desa dan menjarah makanan. Saat penjarahan itulah, seorang prajurit Gurkha coba memperkosa seorang perempuan tuli yang tak sempat melarikan diri. Upaya itu gagal karena suami perempuan itu melakukan perlawanan. Maka terjadilan perkelahian seru.

“Kawan-kawan Si Gurkha itu bagusnya tidak ikut campur. Mereka membiarkan saja perkelahian itu dan menjadikannya hiburan,”ujar Makmur yang mengaku ada di tempat tersebut saat kejadian berlangsung.

Kendati satu lawan satu, tetap saja perkelahian itu berlangsung tidak seimbang. Si Gurkha yang berbadan kekar dan terlatih pada akhirnya berhasil membuat babak belur lelaki kampung yang tidak terbiasa berkelahi itu. Namun di ujung perkelahian, Si Gurkha ditarik oleh komandannya. Setelah diomeli, dia lantas mendapat tamparan keras.

“Walaupun melakukan penjarahan, tapi aturan mereka melarang para prajuritnya mengganggu perempuan,” kata Makmur.

Setelah mendapatkan cukup makanan, gerombolan tentara Gurkha itu lalu pergi dengan membawa 12 tawanan. Namun ketika sampai di jalan besar, para tawanan itu dilepas begitu saja.

Perkelahian dengan tentara Gurkha juga pernah terjadi di Kampung Kandang Sapi, Pasir Sengkong (masih di wilayah Ciranjang) dan sempat diabadikan oleh seorang peneliti sejarah bernama Wijaya. Dalam makalahnya berjudul “Lasykar Hizbullah: Antara Jihad dan Nasionalisme Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945—1949”, Wijaya mengisahkan pengalaman seorang pejuang Hizbullah Batalyon III Ciranjang bernama Masturi.

Alkisah pada suatu siang sekitar jam 10.00, Masturi mendapatkan laporan dari penduduk bahwa ada seorang serdadu Gurkha yang terpisah dari pasukannya terlihat sedang berjalan kebingungan di wilayah Kandang Sapi. Tanpa banyak bicara, usai mengambil seekor ayam, dia mengajak seorang kawannya untuk mencari Si Gurkha tersebut.

Ternyata benar, di suatu lahan sawah kering, mereka melihat seorang serdadu Gurkha lengkap dengan khukri (senjata tradisional Gurkha) dan senjata karaben Qirov-nya. Masturi lantas mendekatinya. Dengan bahasa isyarat, dia menawarkan ayam itu. Begitu Si Gurkha mengambil ayam, secepat kilat Masturi menjegal kakinya sambil merebut senjata Si Gurkha. Maka terjadilah perkelahian seru di sawah kering itu.

Kendati Masturi dikenal jago pencak silat, nyatanya dia tetap kewalahan menghadapi prajurit Gurkha yang juga pandai bermain ilmu bela diri sejenis kuntaw itu. Di jurus kesekian bahkan Si Gurkha berhasil menginjak kaki Masturi dengan sepatu militer-nya hingga jempol kaki kiri gerilyawan Hizbullah itu pecah dan berdarah.

Demi melihat posisi Masturi terdesak, kawannya dan seorang penduduk yang tadinya hanya menonton lalu terjun mengeroyok Si Gurkha. Sepandai-pandainya bermain kuntaw, akhirnya serdadu itu tak berdaya pula melawan tiga orang sekaligus. Sang Gurkha pun berhasil diringkus.

Setelah mengikat Si Gurkha, Masturi lalu membawanya ke markas Hizbullah Batalyon III di Pasir Nangka. Tak lupa mereka pun merampas karaben dan khukri milik lelaki Nepal itu.

Ketika diinterogasi Si Gurkha ternyata bernama Dal Badur. Dia mengaku seorang muslim. Sebagai bukti bahwa dirinya seorang muslim, dia lantas menunjukan rambut di atas kepalanya yang dibiarkan memanjang .

Setelah diobati kakinya, Masturi sendiri ikut menginterogasi Dal Badur. Alih-alih marah karena kakinya dilukai, usai interogasi Masturi malah memeluk prajurit Gurkha itu lalu mengajaknya makan nasi bungkus dari dapur umum.

Tiga hari ditahan di Pasir Nangka, Dal Badur kemudian diserahkan kepada TKR. Namun demikian, karaben dan khukri-nya tidak ikut diserahkan dan menjadi milik Hizbullah Batalyon III. Beberapa bulan kemudian, Dal Badur bersama 4 prajurit Gurkha lainnya dipertukarkan dengan para pejuang Indonesia yang ditahan pihak Inggris.

“Salah seorang tentara Gurkha bernama Basin justru menolak untuk kembali ke pasukannya. Dia memilih untuk bergabung dengan pihak Republik,” ungkap Makmur.

Sumber: historia.id

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>