Gara-gara The Fed & Ancaman Resesi, Rupiah tak Bergigi


AKTUALITAS.ID – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka melemah di perdagangan pasar spot hari ini.

Pagi ini, Jumat (21/2/2020), dolar AS sempat dibanderol Rp 13.715/US$ perdangan di pasar spot dibuka. Rupiah tercatat melemah 0,11% posisi penutupan perdagangan kemarin.

Kendati demikian, rupiah bukan satu-satunya. Mayoritas mata uang utama Asia bernasib sama, tidak berdaya di hadapan dolar AS.

Kekuatan dolar AS keluar saat tersiar notula rapat (minutes of meeting) bank sentral The Federal Reserves/The Fed edisi Januari 2020. Dalam rapat tersebut, Ketua Jerome ‘Jay’ Powell dan kolega memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di 1,5% – 1,75%.

“Peserta rapat secara umum melihat aktivitas ekonomi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini masih cukup layak untuk beberapa waktu ke depan,” sebut notula itu.

Oleh karena itu, kemungkinan besar suku bunga acuan tidak akan turun dalam rapat The Fed bulan depan. Mengutip CMEFedwatch, probabilitas Federal Funds Rate ditahan pada rapat 18 Maret 2020 mencapai 90%.

Tanpa penurunan suku bunga acuan, berinvestasi di dolar AS masih menguntungkan. Ini membuat dolar AS tetap menjadi pilihan investor.

“Bagaimana pun, AS ibarat baju yang tidak terlalu kotor atau rumah yang masih lumayan bagus di lingkungan kumuh. Untuk dijadikan destinasi investasi, AS masih lumayan,” papar Chris Weston, Kepala Riset Pepperstone yang berbasis di Melbourne, seperti diberitakan Reuters.

Sejauh ini hanya yen Jepang yang mampu menguat, pertanda pasar sedang diliput kegundahan. Mata uang Negeri Matahari Terbit adalah aset aman (safe haven) yang merupakan primadona tatkala pasar dilanda ketidakpastian.

Ya, sejatinya ketidakpastian masih sangat tinggi karena penyebaran virus Coorna yang kian masif. Jumlah kasus Corona di seluruh dunia mencapai 75.674. Korban jiwa sudah lebih dari 2.000 orang, tepatnya 2.126.

Aktivitas ekonomi lesu gara-gara virus Corona, terutama di China. Berbagai kalangan mulai mengingatkan soal risiko gelombang Pemutusan Hubungan (PHK) di Negeri Panda.

“Pasar tenaga kerja masih oke pada kuartal I ini. Namun jika penyebaran virus tidak bisa teratasi sampai akhir Maret, maka mungkin kita akan melihat gelombang PHK. Kami memperkirakan akan ada 4,5 juta pekerjaan yang hilang,” tegas Dan Wang, Analis Economist Intelligence Unit, seperti diberitakan Reuters.

China adalah kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia yang memegang peran penting dalam rantai pasok global. Riset DBS menyebutkan China menyumbang 30-40% dari total ekspor produk tekstil dan alas kaki global. Selain itu, sekitar 20% ekspor mesin dan peralatan listrik dunia berasal dari Negeri Tirai Bambu.

Oleh karena itu, perlambatan ekonomi di China pasti akan mempengaruhi perekonomian dunia. Bahkan sejumlah negara sudah mulai mendekati jurang resesi seperti Singapura.

Risiko resesi yang meninggi membuat pelaku pasar enggan bermain agresif. Sikap investor yang bermain aman membuat yen mampu menjadi satu-satunya mata uang Asia yang mampu menguat.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>