LBH Jakarta: Kebakaran Lapas Tangerang Ungkap Buruknya Tata Kelola Penjara di Indonesia


Dokter Kepolisian (Dokpol) membawa kantung jenazah korban kebakaran yang berhasil di identifikasi di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (8/9/2021). Lapas Tangerang Kelas I terbakar sekitar 01.45 WIB dan berhasil dipadamkan pada pukul 03.00 WIB. Dalam kebakaran tersebut setidaknya 41 narapidana (napi) menjadi korban. Dugaan sementara penyebab kebakaran adalah hubungan arus pendek listrik.AKTUALITAS.ID/Kiki Budi Hartawan.

AKTUALITAS.ID – LBH Jakarta menganggap insiden kebakaran Lapas Kelas I Tangerang mengungkapkan buruknya tata kelola penjara di Indonesia. Pengacara Publik LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian mengatakan kejadian itu bisa dilihat dari minimnya perhatian akan keamanan warga binaan di dalam Lapas.

Fakta itu didapat dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly yang mengakui bahwa instalasi listrik Lapas Kelas I Tangerang belum pernah diperbaiki sejak bangunan itu berdiri pada tahun 1972.

Kemudian, hanya ada satu regu atau sekitar 15 petugas yang mengamankan Lapas Tangerang secara keseluruhan, saat kejadian kebakaran.

“LBH Jakarta menilai kondisi tersebut membuktikan begitu buruknya tata kelola dan keamanan yang berorientasi pada perlidungan hak warga binaan pemasyarakatan (WBP). Padahal sesuai dengan namanya mereka adalah ‘warga binaan’ yang diharapkan bisa kembali ke masyarakat dan memulai hidup baru setelah menjalani hukuman,” kata Oky dalam keterangan tulis, Kamis (9/9/2021).

Yang menjadi catatan penting adalah kondisi kelebihan kapasitas (overcrowding). Diketahui bahwa Lapas Kelas I Tangerang hanya memiliki daya tampung sebanyak 600 orang, namun dihuni oleh 2.072 orang warga binaan yang artinya kelebihan kapasitas sebesar 250 persen dari daya tampung Lapas.

Blok yang terbakar juga adalah blok khusus narkotika. Kondisi tersebut, menurut Oky, salah satu penyebab banyaknya korban jiwa dalam kebakaran ini.

Masalah kelebihan kapasitas itu terjadi lantaran sistem peradilan pidana yang masih mengutamakan pidana pemenjaraan ketimbang pemidanaan non-penjara.

“Untuk itu, LBH Jakarta menilai pendekatan restorative justice harus dikedepankan oleh Kepolisian dan Kejaksaan dalam melakukan penegakan hukum yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia. Untuk pecandu harus direhabilitasi dan harus dilakukan pula evaluasi terhadap satuan-satuan narkotika mulai dari Polri hingga BNN karena hingga kini masalah narkotika tak kunjung selesai,” tekan dia.

Terakhir, LBH Jakarta juga mendesak proses penyelidikan dan penyidikan yang transparan dan akuntabel untuk menentukan ada tidaknya unsur kelalaian (culpabilitas) dalam insiden tersebut.

Serta menghukum pelakunya secara pidana berdasarkan Pasal 359 KUHP maupun digugat berdasarkan Pasal 1366 KUHPerdata dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (Perma) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan melanggar Hukum oleh Badan/Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) bagi keluarga korban.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>