Relakah ‘Perang Saudara’ Demi Pesta Demokrasi?


Ilustrasi

AKTUALITAS.ID – Sejatinya demokrasi adalah salah satu cara untuk membuat orang menjadi lebih beradab. Itu idealnya. Namun sayangnya yang terjadi akhir-akhir ini, gara-gara gegap gempita pilpres, sebagian dari kita mendadak jadi beringas dan meninggalkan tata krama pergaulan.

Patut disayangkan melihat berita-berita di media massa atau tayangan di televisi yang menyuguhkan debat antar pendukung capres yang cenderung meminggirkan nilai-nilai kesantunan.

Mereka merasa bebas dan berhak saling menguliti aib orang dengan kata-kata vulgar penuh kebencian dan memerahkan telinga.

Dan yang lebih memprihatinkan lagi, saat ini siapa pun bisa dengan mudah mengakses media sosial dan membaca tulisan yang tak lagi mengindahkan asas demokrasi yang konstruktif.

Dipuja-pujanya jagoannya setinggi langit tanpa cela, tapi di saat yang sama, calon dari kubu lain dijadikan sasaran tembak dengan segala kejelekan dan kekurangannya.

Lalu, siapa yang terkena imbas dari pertempuran sengit di dunia maya itu? Tidak lain adalah masyarakat, siapa pun dia dan apa pun latar belakangnya.

Berita-berita hoax pun bertebaran tanpa filter dan mengancam persaudaraan tidak saja bagi orang-orang yang berkepentingan langsung, tapi juga masyarakat umum yang sebenarnya hanya tersulut emosi tanpa data-data pembanding yang relevan. Yang tebersit di pikirannya adalah libas, lumat, dan hancurkan.

Kampanye negatif, bahkan kampanye hitam jadi makanan sehari-hari, berhamburan bak cendawan di musim hujan. Celah sekecil apa pun akan dimanfaatkan demi nafsu ‘membunuh’ yang sudah di ujung lidah.

Kesantunan jadi barang langka yang mahal harganya. Pertengkaran jadi hal yang lumrah demi memuaskan syahwat merasa paling benar.

Memang jika kebencian sudah menyelimuti hati, akal sehat menjadi sulit dicerna. Padahal jika mau sedikit berpikir jernih, kebencian justru akan menyakiti diri sendiri, membuat kita menjelma jadi sosok yang emosional karena panasnya hati sehingga sulit menerima perbedaan.

Kubu yang ingin ganti pemimpin dan pihak yang mendukung petahana saling bertikai untuk sesuatu yang masih belum pasti. Tak ada jaminan jika petahana yang menang, kondisi bangsa ini akan seperti yang mereka bayangkan. Pun jika sang penantang yang terpilih, keadaan negara ini juga tak serta merta akan seperti yang dijanjikan.

Tidak bisakah kita semua belajar jadi pendukung atau pemilih yang logis? Pemilih yang tidak lagi mengklaim sebagai kelompok terbaik tanpa cela dan menghilangkan sekat-sekat primordial?

Janganlah kita menjelma jadi manusia culas dan rakus demi meraih kuasa dengan menampilkan diri sebagai manusia yang minus harga diri.

Sobat, 73 tahun Indonesia merdeka. Marilah berusaha menjadi bangsa beradab untuk memilih pemimpin masa depan yang lahir dari proses demokrasi yang sehat dan mencerdaskan. Bukan pemimpin yang lahir dari perseteruan barbar yang menisbikan akal sehat.

Relakah kita bergelut dengan ‘perang saudara’ lima tahunan? Tentu tidak. Sulit memang, tapi yakinlah bahwa kita bisa.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>