Pindah Ibu Kota, Ini Kata Denny JA


Pendiri LSI, Denny JA, saat memaparkan hasil survei terkini bertajuk 'Yang Juara dan Yang Terlempar: Final Quick Count Partai Politik 2019', Kamis (18/4/2019) siang, di Rawamangun, Jakarta. Salah satu hasil survei menetapkan PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2019, meraih 19,80 persen, disusul Gerindra (12,50 persen) dan Golkar (12,21 persen). AKTUALITAS.ID/Kiki Budi Hartawan

AKTUALITAS.ID – Analis politik sekaligus budayawan, Denny JA, berharap perlu Public Discourse agar pemindahan Ibu kota menjadi keputusan bersama. Pasalnya, jika presiden berikutnya, dan mayoritas anggota DPR yang juga terpilih di tahun 2024-2029, menyatakan ibu kota batal pindah, dan didukung banyak para ahli, dan juga oleh mayoritas publik berdasarkan survei, dinilai Denny JA, itu sungguh menjadi penghalang besar bagi pemindahan ibu kota itu sendiri.

“Karena itu, perlu dibuka percakapan di ruang publik. Para ahli di aneka bidang silahkan bicara memberikan pandangan. Apalagi jika ada hasil riset mereka. Juga aneka civil society, mulai dari yang ahli lingkungan hingga ahli ketata negaraan, silahkan bicara, ” kata Denny JA, lewat keterangan tertulisnya.

Beberapa isu dapat menjadi topik pembicaraan, tak hanya soal pemindahan ibu kota, tapi juga kapan pemindahan itu dilakukan. Waktu untuk memutuskan ibu kota pindah dengan waktu untuk benar-benar pindah secara fisik itu dapat pula berbeda.

Jika ada public discourse yang cukup, maka pemindahan ibu kota akan menjadi keputusan bersama. Presiden di masa datang tak lagi mudah bisa membatalkan keputusan bersama itu.

Denny JA mengatakan, mungkin perlu dibuat UU khusus yang mengatur soal tata cara dan prosedur untuk memindahkan ibu kota. Perlu diatur, institusi apa yang perlu terlibat memutuskannya.

“Cukupkah lembaga presiden saja yang memutuskan? Atau harus ada persetujuan dari mayoritas anggota DPR pula? tanya DennyJA.

Atau lebih jauh lagi. Memindahkan ibu kota dibuat seperti amandemen konstitusi. Ia tak hanya cukup diputuskan oleh presiden dan DPR, tapi juga harus didukung oleh mayoritas anggota MPR yang dihadiri minimal oleh 2/3 anggota MPR.

“Jika pertiga plus satu saja anggota MPR menolak hadir, pemindahan ibu kota tak bisa diputuskan, ” tegasnya.

Dengan demikian, seorang presiden, kapanpun, tak bisa disalahkan sendirian jika ternyata keputusannya memindahkan ibu kota itu blunder. Karena hukum sudah menggariskan pemindahan ibu kota itu keputusan bersama presiden, DPR dan juga suara mayoritas MPR yang dihadiri 2/3 anggota.

Denny JA sendiri memuji determinasi Presiden Jokowi untuk memindahkan ibu kota. Namun karena efeknya sangat besar bagi kelangsungan sebuah bangsa, harus lebih banyak institusi terlibat dalam keputusan itu.

Public discoure, diskusi publik soal pindahnya ibu kota juga sehat untuk pertumbuhan demokrasi kita. Ruang publik perlu pula diisi oleh percakapan warga negara yang melihat isu itu dari aneka sudut, tanggap Denny.

Jokowi harus pula menghitung prioritas pembangunannya untuk 2019-2024. Ia sudah menyatakan, peningkatan SDM menjadi prioritasnya.

Jangan sampai isu pemindahan ibu kota terlalu banyak menyita perhatian dan dana sehingga prioritas peningkatan SDM itu malah terganggu sifnifikan. Iklim usaha pun bisa terganggu jika terlalu banyak ketidak pastian, tambah Denny JA.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>