Febri Sebut Arteria Dahlan Tak Bisa Bedakan Barang Rampasan dan Sitaan


Juru Bicara KPK Febri Diansyah ,ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

AKTUALITAS.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut banyak yang keliru dengan apa yang disampaikan politikus PDI Perjuangan Arteria Dahlan terkait sejumlah kegiatan KPK.

Tudingan itu sebelumnya disampaikan Arteria Dahlan ketika mantan anggota Komisi III DPR tersebut menjadi narasumber di acara Mata Najwa, Rabu kemarin.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mempertanyakan data-data keliru Arteria, salah satunya mengenai dokumen berita acara sita dan perampasan aset tersangka di KPK. Arteria sempat menyebut bahwa emas batangan yang disita KPK tidak dimasukkan ke kas negara.

Febri menduga Arteria keliru mendefinisikan soal sitaan, rampasan, dan dikaitkan dengan pemasukan kas negara dari hasil giat tim KPK.

“Terdapat kekeliruan pemahaman ketika disampaikan bahwa ada barang sitaan yang tidak dimasukkan ke kas Negara. Pernyataan tersebut kami duga berangkat dari ketidakmampuan membedakan antara barang rampasan dengan barang sitaan,” kata Febri saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (11/10).

Febri menerangkan bahwa penjelasan mengenai emas batangan yang disita dan tak masuk ke kas negara sudah berulang kali disampaikan kepada publik. Penyampaian itu dilakukan melalui pemberitaan media. Seperti dalam perkara tindak pidana korupsi (TPK) terkait pembangunan Pasar Besar Kota Madiun tahun 2009-2012 dengan terpidana Wali Kota Madiun, Bambang Irianto.

“Saat penyidikan, KPK menyita emas batangan sebanyak satu kilogram. Akan tetapi, karena hakim pada Pengadilan Tipikor Surabaya memerintahkan barang sitaan tersebut dikembalikan kepada pihak terpidana, maka KPK wajib melaksanakan putusan tersebut dan mengembalikannya pada 9 Juli 2018,” kata Febri.

Menurut Febri, menjadi kesalahan yang fatal apabila KPK tetap merampas barang tersebut. Sebab majelis hakim di Pengadilan telah memutuskan untuk dikembalikan karena barang itu tidak tersangkut perkara yang sedang diusut. “Justru salah jika KPK melakukan tindakan yang bertentangan dengan putusan pengadilan tersebut,” kata Febri.

Contoh lain adalah pada kasus suap atas usulan dana perimbangan keuangan daerah pada RAPBN Perubahan Tahun Anggaran 2018 dengan tersangka Yaya Purnomo, Kasie Pengembangan Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan.

“Ketika itu, KPK menyita logam mulia, perhiasan emas sebanyak: 25 cincin, empat gelang, dan empat anting-anting. Hal ini juga sudah pernah kami sampaikan pada publik melalui pemberitaan media,” kata Febri.

Berdasarkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta tanggal 28 Januari 2019, sebanyak 2,2 Kg logam mulia dan 33 perhiasan dirampas untuk negara.

Sisanya, lanjut Febri, sebanyak 200 gram logam mulia dipergunakan sebagai barang bukti di perkara lainnya, yakni Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap terkait dengan pengurusan dana perimbangan pada APBN-P 2017 dan APBN 2018 untuk Kabupaten Pegunungan Arfak periode tahun 2017-2018.

Sedangkan terkait tudingan penyerahan kebun kelapa sawit yang disinggung, juga telah dijelaskan bahwa KPK tidak pernah menyita kebun sawit tersebut.

“Itu keliru, informasi yang benar adalah, dalam perkara dengan terdakwa M. Nazaruddin, pada putusan tertera perampasan untuk negara, yakni aset PT Inti Karya Plasma Perkasa beserta segala sesuatu yang ada di atas tanah tersebut,” kata Febri.

Hakim memerintahkan dilakukan perampasan aset, maka tindaklanjutnya adalah eksekusi dan lelang yang dilakukan KPK bersama KPNKNL, Kementerian Keuangan. Aset itu telah dilelang pada tanggal 16 Juni 2017 melalui KPKNL Pekanbaru. Dan pemenang lelangnya atas nama PT. Wira Karya Pramitra.

Klarifikasi Tudingan

Dalam kesempatan yang sama, Febri juga mengklarifikasi tudingan penyitaan motor besar yang pernah dilakukan penyidik KPK. Perkara itu terkait Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT) terhadap PT Jasa Marga tahun 2017. Pada perkara ini KPK menyita sebuah motor Harley Davidson dengan nomor polisi B 5662 JS.

“Menurut putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, motor itu dirampas untuk negara dan telah dilelang pada 4 Desember 2018 dengan harga Rp 133.095.000,” kata Febri.

Selanjutnya, ada pada kasus Tindak Pidana Pencucian Uang atas nama H. Abdul Latief. Mengenai ini, tim KPK menyita delapan motor besar sebagai barang bukti.

Motor besar tersebut terdiri dari, 4 unit Harley Davidson, satu unit BMW, satu unit Ducati, dan dua motor trail. “Hingga saat ini perkaranya masih proses penyidikan,” lanjut Febri.

Untuk kasus suap Bupati Labuhanbatu, Pangonal Harahap, terkait proyek-proyek di lingkungan Kabupaten Labuhanbatu tahun anggaran 2018, KPK memang telah merampas motor Harley Davidson dengan Nomor Polisi BK 6347 LAA.

Saat ini, imbuh Febri, masih dalam proses lelang dengan harga Rp 285.733.000. Hal itu sesuai perintah putusan Pengadilan Tipikor Medan tertanggal 4 April 2019 yang memutuskan merampas satu unit motor Harley Davidson dengan nomor polisi BK 6347LAA. “Saat ini masih dalam proses lelang dengan harga Rp 285.733.000,” imbuhnya.

Dari uraian tersebut, Febri meyakini tindakan penyitaan dilakukan sah secara hukum, dan sampai pada putusan pengadilan, KPK melaksanakan perintah majelis hakim, baik perampasan ataupun penggunaan untuk perkara lain, dan pengembalian kepada pemiliknya.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>