Siti Zuhro: Penyelenggaraan Pilpres Langsung Perlu Dievaluasi


Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, (Foto:Ist)

AKTUALITAS.ID – Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menilai, penyelenggaraan pemilihan presiden (pilpres) secara langsung perlu dievaluasi. Namun, wacana pemilihan presiden oleh MPR RI bukan satu-satunya jawaban atas berbagai permasalahan dari pilpres langsung.

Ia melanjutkan, apabila opsi pemilihan presiden oleh MPR pun muncul harus dibarengi naskah akademis yang berisi filosofis konteks, pengalaman empirik, dan bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk kelemahan dan kekuatan dari masing-masing sistem baik pemilihan langsung oleh rakyat maupun MPR RI.

“Dua mekanisme desain pilpres itu mana yang ternyata lebih bermanfaat untuk Indonesia. Tidak hanya untuk pemberian masyarakat, tetapi juga untuk kemajuan Indonesia ke depan, sehingga Indonesia tidak didera kemunduran,” ujar Siti kepada wartawan di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (28/11).

Ia menuturkan, harus diingat pula hal-hal yang menjadi latar belakang saat Indonesia memutuskan mengubah sistem pemilihan presiden dari MPR ke rakyat. Salah satunya MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak transparan dan akuntabel karena rezim otoriter yang didominasi penguasa.

Namun, lanjut Siti, kemudian dilihat saat ini apakah konflik-konflik yang dulunya terjadi bisa berkurang atau justru bertambah di era pilpres langsung. Hal itu juga bisa diketahui dari banyaknya sengketa pilpres, pemilihan legislatif (pileg), maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).

Sehingga, kata Siti, perlu dikaji pula apakah nilai-nilai substansi dari pemilihan oleh rakyat ini masih dapat terwujud hingga kini. Jangan sampai, demokrasi yang dijunjung tinggi selama 20 tahun terakhir hanya demokrasi prosedural tanpa nilai substansinya.

“Kenapa konflik terjadi bahkan di Pemilu 2019, apa yang salah ini. Jadi kayaknya demokrasinya tidak substantif, demokrasinya bertopeng, prosedural,” kata Siti.

Di sisi lain, ia menekankan, pemilihan presiden oleh MPR juga perlu dikaji secara komprehensif. Sehingga implementasinya nanti tidak mengancam nilai-nilai Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Konstitusi, dan Bhineka Tunggal Ika.

Sebab, dengan pemilihan presiden oleh MPR RI berarti tak bisa dihindarkan juga kepentingan elite-elite politik dan parpol. Menurut Siti, sebenarnya apapun sistem pemilihan presiden kuncinya ada di partai politik (parpol) yang berperan penting.

Oleh karena itu, parpol yang sehat harus hadir menegakkan demokrasi yang berkualitas, beradab, dan berintegritas. Termasuk penegakan hukum juga harus dibenahi.

“Mau tidak mau harus menghadirkan satu partai politik yang sehat, bukan dengan rakyatnya dikatakan tidak sehat, partainya harus menjadi role model,” tutur Siti.

Ia melanjutkan, apabila opsi pemilihan presiden oleh MPR pun muncul harus dibarengi naskah akademis yang berisi filosofis konteks, pengalaman empirik, dan bisa dipertanggungjawabkan. Termasuk kelemahan dan kekuatan dari masing-masing sistem baik pemilihan langsung oleh rakyat maupun MPR RI.

“Dua mekanisme desain pilpres itu mana yang ternyata lebih bermanfaat untuk Indonesia. Tidak hanya untuk pemberian masyarakat, tetapi juga untuk kemajuan Indonesia ke depan, sehingga Indonesia tidak didera kemunduran,” ujar Siti kepada wartawan di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (28/11).

Ia menuturkan, harus diingat pula hal-hal yang menjadi latar belakang saat Indonesia memutuskan mengubah sistem pemilihan presiden dari MPR ke rakyat. Salah satunya MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak transparan dan akuntabel karena rezim otoriter yang didominasi penguasa.

Namun, lanjut Siti, kemudian dilihat saat ini apakah konflik-konflik yang dulunya terjadi bisa berkurang atau justru bertambah di era pilpres langsung. Hal itu juga bisa diketahui dari banyaknya sengketa pilpres, pemilihan legislatif (pileg), maupun pemilihan kepala daerah (pilkada).

Sehingga, kata Siti, perlu dikaji pula apakah nilai-nilai substansi dari pemilihan oleh rakyat ini masih dapat terwujud hingga kini. Jangan sampai, demokrasi yang dijunjung tinggi selama 20 tahun terakhir hanya demokrasi prosedural tanpa nilai substansinya.

“Kenapa konflik terjadi bahkan di Pemilu 2019, apa yang salah ini. Jadi kayaknya demokrasinya tidak substantif, demokrasinya bertopeng, prosedural,” kata Siti.

Di sisi lain, ia menekankan, pemilihan presiden oleh MPR juga perlu dikaji secara komprehensif. Sehingga implementasinya nanti tidak mengancam nilai-nilai Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Konstitusi, dan Bhineka Tunggal Ika.

Sebab, dengan pemilihan presiden oleh MPR RI berarti tak bisa dihindarkan juga kepentingan elite-elite politik dan parpol. Menurut Siti, sebenarnya apapun sistem pemilihan presiden kuncinya ada di partai politik (parpol) yang berperan penting.

Oleh karena itu, parpol yang sehat harus hadir menegakkan demokrasi yang berkualitas, beradab, dan berintegritas. Termasuk penegakan hukum juga harus dibenahi.

“Mau tidak mau harus menghadirkan satu partai politik yang sehat, bukan dengan rakyatnya dikatakan tidak sehat, partainya harus menjadi role model,” tutur Siti.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>