Allah Selalu Memberikan Rezeki bagi Hamba-Nya meski Tak Diminta


Setiap manusia punya kewajiban untuk mencari rezeki. Bahkan berdoa untuk mendapatkannya. Namun andaikan manusia tak berdoa untuk meraih rezeki, Allah tetap memberikannya.

Dalam Kitâb al-Imtâ’ wa al-Mu’ânasah, Imam Abu Hayyan al-Tauhidi mencatat perkataan Imam Ibnu al-Sammak (w. 344 H) tentang rezeki. Berikut perkataannya,

وقال ابن السمّاك: لو قال العبد: يا ربّ لا ترزقني، لقال الله: بل أرزقك علي رغف أنفك، ليس لك خالق غيري، ولا رازق سواي، إن لم أرزقك فمن يرزقك؟

Ibnu al-Sammak berkata, “Andaikan seorang hamba berdoa: ‘Tuhan, jangan berikan rezeki kepadaku.’ Allah pasti menjawab: ‘Aku akan tetap memberikan rezeki-Ku kepadamu meskipun kau tak suka. Bagimu, tidak ada Pencipta selain-Ku, dan tidak ada Pemberi rezeki selain-Ku. Jika Aku tidak memberikan rezeki kepadamu, siapa lagi yang akan memberikan rezeki kepadamu?” (Imam Abu Hayyan al-Tauhidi, Kitâb al-Imtâ’ wa al-Mu’ânasah, Beirut: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 2011, h. 246)

Perkataan di atas diungkapkan oleh seorang muhaddits (ahli hadits) yang masyhur ke-tsiqqah-annya, dijuluki musnid al-‘iraq, Imam Abu ‘Amr Utsman bin Ahmad bin Abdullah bin Yazid al-Baghdadi al-Daqqaq, lebih dikenal dengan Ibnu al-Sammak (w. 344 H). Beberapa muridnya yang terkenal adalah Imam al-Daruquthni (w. 385 H), Ibnu Syahin (w. 385 H), al-Hakim al-Naisyaburi (w. 405), dan lain sebagainya.

Dalam kehidupan dan kematian, dalam keadaan dan ketiadaan. Semuanya berjalan atas kehendak-Nya. Tidak ada satupun di dunia ini yang terlepas dari pengaturan-Nya. Salah satunya adalah rezeki.

Andaipun seseorang berdoa dengan kekhusyu’an yang luar biasa, meminta agar Allah tidak memberinya rezeki, Allah akan tetap memberikannya. Suka atau tidak suka; rela atau tidak rela, ia akan tetap mendapatkan rezeki.

Sebab, “laisa laka khâliqun ghairî” (tidak ada bagimu Pencipta selain-Ku) dan “lâ râziqun siwayya” (tidak ada Pemberi rezeki selain-Ku).

Jadi, suka atau tidak suka, seseorang akan terus mendapatkan rezeki dari Allah. Dan perlu diingat, rezeki itu tidak melulu berupa harta benda atau uang. Akar katanya adalah razaqa-yarzuqu-rizqan yang artinya “aushala ilaihi rizqan aw a’thâhu” (mengirimkan rezeki/pemberian kepada seseorang, atau memberikannya).

Contoh penggunaan kalimatnya, “razaqath thâ’ir farkhahu” (burung memberikan rezeki kepada anaknya). (Dr. Shauqi Dhaif, dkk., al-Mu’jam al-Wasîth, Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah, 2004, 342)

Artinya, rezeki bermakna sangat luas. Karena tidak ada satu pun di dunia ini yang bukan pemberian-Nya. Mata adalah rezeki, telinga adalah rezeki, lidah adalah rezeki, bahkan kehidupan sendiri adalah rezeki.

Seperti dilansir dari Muslim Moderat, semua yang berupa pemberian adalah rezeki. Maka, sebelum mempertanyakan kekurangan, kita harus melihat terlebih dahulu rezeki secara utuh.

Cara pandangnya bukan enak atau tidak enak dalam keadaan dan situasi tertentu, tapi memandang seluruhnya. Bisa jadi kita sedang susah dalam hal ekonomi, tapi kita sukses dalam hal kesehatan.

Bisa jadi kita kurang beruntung dalam pekerjaan, tapi kita sukses dalam hal lainnya. Cara pandang semacam itu penting untuk menyadarkan rasa syukur kita kepada Allah agar terhindar dari keputusasaan.

Dalam ucapannya, Imam Ibnu al-Sammak hendak menunjukkan bahwa rezeki Allah tidak berbatas, dan tidak tebang pilih. Tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Anggap saja kaum atas di sini adalah orang-orang saleh dan bertakwa, sedangkan kalangan bawahnya adalah orang-orang jahat, dan tidak beriman. Kedua kalangan ini sama-sama mendapatkan rezeki dari Allah. Tidak sedikit orang-orang yang kita anggap saleh berada dalam kemiskinan, dan tidak sedikit orang-orang yang kita pandang jahat memiliki kekayaan yang melimpah.

Begitu pun sebaliknya, orang saleh yang kaya, dan orang jahat yang miskin. Artinya, Allah memberikan rezeki kepada siapa saja, bahkan terhadap orang yang tidak pernah bersyukur dan menyembah-Nya. Oleh karena itu, jangan berputus asa dalam menghadapi kesusahan hidup.

Kita harus belajar menerima segala bentuk pengabulan doa dari Allah, meski secara spesifik tidak sama dengan yang kita minta.

Satu waktu, Imam Ibrahim bin Adham bertanya kepada seorang mutawakkil (orang tawakkal):

من أين تأكل؟ قال: ليس عندي هذا العلم, سلْ من الرزَّاق, ما لي شغل بهذا الفضول

“Dari mana kau makan?” Ia menjawab: “Aku tidak memiliki pengetahuan soal ini. Tanyalah pada yang Maha Pemberi Rezeki. Bukan aku yang mengurus karunia ini.” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliyâ’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashîliy al-Wasthâni al-Syâfi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 142).

Artinya, ia hanya memasrahkan semuanya kepada Allah, dan melepaskan diri dari hubungan transaksional semacam, “jika aku bertawakkal, berilah rezeki kepadaku.” Karena ia sudah tahu bahwa rezeki Allah akan selalu ada, dari mulai sebelum dunia diciptakan, sampai dunia dihancurkan, dan seterusnya (tidak terbatas).

Dia adalah al-Razzâq (Maha Pemberi Rezeki). Sejatinya memasrahkan segalanya kepada Allah, tidak akan pernah mendatangkan kerugian, karena Allah lah sebaik-baiknya tempat mengadu dan berkeluh kesah.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>