Filep Karma Ungkap Janji Presiden Jokowi Bakal Bebaskan Tapol Papua


Mantan tahanan politik asal papua Filep Karma, Foto: Istimewa

AKTUALITAS.ID – Mantan tahanan politik asal papua Filep Karma mengatakan Presiden Joko Widodo berjanji bakal membebaskan tahanan politik Papua pada era pemerintahannya. Hal tersebut diungkap Jokowi, kata Filep, kepada lima rekan tahanan politik di Jayapura, Papua yang dibebaskan pada 2015.

“Ketika bapak presiden membebaskan lima teman saya dari penjara di Jayapura, beliau bilang ke mereka, ini perdamaian dan saya akan membebaskan semua tahanan politik,” ujarnya dikutip dari akun Youtube Tapol UK, Jumat (12/6/2020).

Namun kini, katanya, jumlah tahanan politik Papua justru bertambah. Terdapat 46 tahanan politik yang sampai sekarang masih mendekam di penjara.

Ia mengatakan dirinya juga pernah menyatakan permintaan ini kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. Kala itu Filep meminta Yasonna membebaskan empat tahanan politik Papua yang dikurung di Lapas Nusa Kambangan.

“Beliau bilang akan mencoba memindahkan mereka dari Nusa Kambangan ke Ambon dan mencoba membebaskan mereka. Tapi sampai sekarang empat orang itu masih dipenjara,” tuturnya.

Ia bercerita di Papua, seseorang bisa ditangkap jika berbicara soal keinginan merdeka. Mereka akan dibawa polisi ke penjara, ditahan dan dijerat hukuman bertahun-tahun.

Hal ini, katanya, sempat membaik ketika dunia internasional menekan Indonesia dan memberi dukungan kepada pihaknya. Namun belakangan Filep menduga Indonesia kembali melayangkan hukuman panjang untuk tahanan politik Papua.

Menyuarakan pendapat tanpa kekerasan bukan hal yang mudah dilakukan orang Papua, katanya. Ia mengaku pernah mengirimkan surat izin menggelar demonstrasi Kamisan di Papua, namun ditolak pihak berwenang.

Sejak Februari, terdapat tujuh warga Papua Hengki Hilapok, Alexsander Gobai, Steven Itlay, Bucthar Tabuni, Irwanus Uropmabi, Fery Kombo dan Agus Kossay yang didakwa makar. Semuanya tengah menjalani sidang di Pengadilan Negeri Balikpapan, Kaltim terkait dengan kasus dugaan kerusuhan di Papua pada akhir 2019.

Diketahui pada September 2015, Presiden Jokowi berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Abepura di Kamkey, Kelurahan Kota Baru, Distrik Abepura.

Di sana, Presiden langsung memberikan surat persetujuan grasi bagi lima tahanan politik Papua. Kelima tahanan politik yang dibebaskan itu adalah Apotnalogolik Lokobal (20 tahun penjara), Numbungga Telenggen (penjara seumur hidup), Kimanus Wenda (19 tahun penjara), Linus Hiluka (19 tahun penjara) dan Jefrai Murib (penjara seumur hidup).

“Pada hari ini telah kita bebaskan lima orang ini adalah upaya sepenuh hati pemerintah dalam rangka untuk menghentikan stigma konflik yang ada di Papua,” kata Presiden Jokowi dalam sambutannya seperti dilansir situs Sekretarat Kabinet.

Presiden menegaskan pemberian grasi ini merupakan langkah awal untuk membangun Papua tanpa ada konflik.

“Ini adalah awal, nantinya setelah ini akan ditindaklanjuti pemberian grasi atau amnesti untuk wilayah yang lain karena ada kurang lebih 90 orang yang masih di dalam penjara. Sekali lagi ini adalah awal dimulainya pembebasan,” papar Jokowi.

Diskriminasi Warga

Pengacara hak asasi manusia di Jayapura, Anum Siregar menilai ada diskriminasi dan perbedaan sikap pemerintah terhadap orang Papua dan masyarakat Indonesia lain.

Ia menilai orang Papua dengan mudah dituduh makar dan ditangkap aparat hanya karena mengibarkan Bendera Bintang Kejora atau menyuarakan pendapat mereka. Pada satu kasus, mereka yang ditangkap di investigasi tanpa pengacara dan dipukuli.

“Sedangkan di Jakarta, orang berbicara soal menggulingkan pemerintahan, membuat parlemen baru, negara baru, tapi mereka tidak diadili. Ini diskriminasi antara situasi di Papua dan di Jakarta,” ungkapnya.

Ia mengatakan tindakan represif pemerintah hanya membuat situasi di Papua semakin buruk. Dengan terus menangkap tahanan politik, katanya, pemerintah justru membuat keinginan Papua merdeka semakin besar.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>