TNI-Polri Dilibatkan Pengawasan Protokol Kesehatan, YLBHI Nilai Tak Tepat


tni, apel,
Pasukan Gabungan TNI-Polri saat mengikuti Apel Kesiapan Natal, Tahun Baru 2019 serta menjelang Pemilu legislasi dan Presiden 2019 di lapangan silang Monas, Jakarta, Jumat (30/11/2018). Apel kesiapan ini diikuti 50.000 personel dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Polri.

AKTUALITAS.ID – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Inpres Nomor 6 Tahun 2020 yang salah satu isinya memerintahkan agar TNI dan Polri melakukan pengawasan protokol kesehatan. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai pelibatan TNI dan Polri itu tidak tepat.

Ketua Umum YLBHI Asfinawati awalnya mengatakan pelibatan TNI dan Polri itu sebagai sifat represif. Asfina mengatakan langkah represif tidak bisa diterapkan jika menyentuh ranah privat.

“Soal kesehatannya sebetulnya Presiden itu salah memaknai kedaruratan kesehatan yang dia tetapkan sendiri dengan menjadi bersifat represif. Kesehatan tidak bisa diterapkan represif karena ada ruang privat seperti rumah, penggunaan kamar mandi. Kan ODP PDP di rumah, penggunaan kamar mandi itu kan polisi tentara nggak bisa masuk tu ke kamar mandi orang. Ini ada kegagalan sebetulnya situasi kedaruratan seperti apa,” kata Asfin kepada wartawan, Kamis (6/8/2020).

“Saya sih nggak heran karena pak Jokowi kan waktu di Ratas sudah bilang harus diikuti dengan darurat sipil, jadi ini kembali lagi ini menurut saya itu,” imbuhnya.

Asfin kemudian mengatakan penempatan TNI untuk mengontrol protokol kesehatan tidaklah tepat. Dia menyinggung pelibatan tentara di era masa lalu.

“Dari sisi demokrasi memang tentara, betul TNI itu punya tugas perbantuan, tapi itu ketat sekali dan menurut saya situasi COVID khususnya protokol kesehatan itu nggak cocok sama sekali, itu di masa lalu itu yang disebut menjadi ancaman, mengganggu demokrasi karena melibatkan TNI dalam soal keamanan,” jelasnya.

Asfina menilai pelibatan TNI-Polri dalam pengawasan ini untuk menakut-nakuti rakyat. Namun, menurutnya tidak tepat. Dia menyarankan justru yang seharusnya melakukan komunikasi ke publik adalah tenaga kesehatan masyarakat.

“Itu kan dianggap orang akan takut kalau diawasi petugas seperti Polri dan TNI, sebetulnya yang harusnya diperbanyak itu komunikasi publik yang jelas dan lebih banyak orang kesehatan masyarakat yang diterjunkan ke masyarakat atau tenaga kesehatan untuk memberi tahu bahwa untuk menyadarkan,” kata Asfin.

“Karena untuk menakut-nakuti itu tidak akan menyelesaikan masalah, artinya menakut-nakuti dengan menggunakan, kalau kita melibatkan TNI dan Polri gitu, apalagi TNI itu pasti dimensinya ada kekerasan ya, dalam arti bisa represif, karena memang mayornya aparat yang memang untuk sesuatu yang represif meskipun TNI bukan di masa damai. Itu menurut saya nggak tepat sama sekali, kan protokol kesehatan bukan hanya di ruang publik, kan tidak,” sambungnya.

Asfina mengatakan pelibatan Dinas Kesehatan setempat hingga perangkat desa dinilai lebih efektif untuk melakukan penyuluhan pentingnya protokol kesehatan. Dia berharap elemen masyarakat itu dioptimalkan.

Diketahui, patroli TNI dan Polri untuk pengawasan protokol kesehatan tertuang dalam Inpres Nomor 6 Tahun 2020. Inpres Nomor 6 Tahun 2020 ini diteken Jokowi pada 4 Agustus 2020 di Jakarta, ditujukan untuk para menteri, Seskab, Panglima TNI, Kapolri, kepala lembaga, dan kepala daerah.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>