Kontras Nilai Jokowi Wajarkan Tindakan Represif Aparat Saat Penanganan Demo


Demonstran terlibat bentrok dengan polisi saat menggelar Aksi 22 Mei di depan gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (22/5/2019). Aksi unjuk rasa itu dilakukan menyikapi putusan hasil rekapitulasi nasional Pemilu serentak 2019. AKTUALITAS.ID / KIKI BUDI HARTAWAN.

AKTUALITAS.ID – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewajarkan sikap represif aparat keamanan, khususnya dalam penanganan aksi demonstrasi.

Tindakan represif aparat terjadi dalam aksi yang dilakukan masyarakat, mulai dari May Day 2019, aksi Bawaslu 21-23 Mei 2019, Reformasi Dikorupsi 23-30 September 2019, hingga aksi Omnibus Law belakangan ini.

“Semua diiringi represifitas aparat kepolisian. Dan tidak ada ketegasan presiden untuk belajar dari penanganan aksi yang sebelumnya terjadi,” kata peneliti Kontras, Rivanlee Anandar melalui konferensi video, Senin (19/10/2020).

Rivanlee mengatakan aksi represif tersebut dijustifikasi dengan surat telegram Kapolri yang melarang demonstrasi UU Ciptaker dilakukan di tengah pandemi virus corona.

Menurutnya, Jokowi yang tak menggubris surat tersebut menunjukkan mantan wali kota Solo itu mendukung tindakan represif aparat.

“Malah pembiaran pada surat telegram tersebut menunjukkan bahwa presiden juga mendorong atau mendukung represifitas itu terjadi. Kita sebut pewajaran represifitas,” jelasnya.

KONTRAS mencatat ada 157 peristiwa serangan kebebasan sipil dalam kurun waktu Oktober 2019 sampai September 2020. Dari jumlah tersebut, yang paling marak adalah penangkapan dengan jumlah 63 kasus.

Kemudian disusul pembubaran 55 kasus, pelarangan 22 kasus, intimidasi 22 kasus, penganiayaan 16 kasus, persekusi lima kasus, dan sanksi sewenang-wenang satu kasus.

Rivanlee menyebut kasus penangkapan umumnya dilakukan saat aparat berupaya membubarkan massa aksi. Tindakan pembubaran diiringi dengan penganiayaan, penyiksaan, serta intimidasi verbal dan nonverbal.

Dari keseluruhan peristiwa yang terjadi setahun terakhir, 77 korban di antaranya adalah masyarakat. Kemudian 41 korban mahasiswa, 12 korban aktivis, 11 korban jurnalis, delapan korban buruh dan delapan korban dari organisasi.

Sedangkan pelaku serangan kebebasan sipil didominasi aparat kepolisian dengan jumlah 132 kasus. Kemudian 27 kasus dari unsur pemerintah, 18 kasus ormas atau orang tidak diketahui, dua kasus kampus dan satu kasus TNI.

“Kami duga variabel (pelaku) ormas dan orang tidak dikenal adalah salah satu upaya meredam publik tapi tidak melalui tangan polisi. Kami duga ada yang mengendalikan ormas atau orang tidak dikenal untuk melakukan pembatasan sipil,” ujarnya.

Peneliti KONTRAS Danu Pratama menambahkan aksi kekerasan sepanjang 2019 mayoritas dilakukan aparat kepolisian. Jumlah aksi kekerasan tersebut mencapai 103 kasus.

Mayoritas adalah kasus penganiayaan dan bentrokan, yakni mencapai 57 kasus. Peristiwa tersebut membuat 102 orang luka-luka dan dua orang meninggal.

Kemudian 33 kasus penyiksaan dengan 32 orang luka dan sembilan oran meninggal, 5 kasus salah tembak dengan tiga orang luka dan lima orang meninggal, serta delapan kasus intimidasi.

“Di sini kita bisa lihat satu pola, tertinggi penganiayaan dan bentrokan. Ini tidak lepas dari bagaimana kepolisian menangani aksi massa. Atau penahanan aksi demonstrasi yang rentan represifitas dan kekerasan eksesif,” ujarnya.

Danu mengatakan pemerintah seharusnya berupaya merumuskan ulang sistem pengawasan dan penagihan akuntabilitas di tubuh Polri. Namun, tren kebijakan yang diambil justru tak sesuai.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>