Kontras Catat 81 Tindak Penyiksaan Sepanjang Juli 2020 – Mei 2021


Ilustrasi istimewa

AKTULITAS.ID – Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat setidaknya terdapat dugaan 81 penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi yang terjadi sepanjang Juli 2020-Mei 2021.

Wakil Koordinator II KontraS, Rivanlee Anandar menyebut, tindakan penyiksaan ini paling banyak dilakukan institusi negara.

“Mayoritas atau dominasi dari praktik penyiksaan ini adalah Polri, TNI, dan sipir,” kata Rivanlee dalam diskusi virtual Kenali dan Cegah Penyiksaan, Wujudkan Segera Ratifikasi OPCAT yang disiarkan secara live di kanal Youtube Komnas Perempuan, Jum’at (25/6/2021).

Rivanlee menyebut, dalam setahun terakhir, setidaknya terdapat 36 kasus penyiksaan yang dilakukan anggota Polri, 7 penyiksaan oleh TNI, dan 3 kasus oleh sipir penjara. Dalam institusi Polri, penyiksaan paling banyak terjadi di tingkat Polres.

Dari sejumlah kasus, aparat sering menggunakan tangan kosong sebagai medium penyiksaan saat melakukan penyelidikan atau penyidikan. Selain itu, adalah benda keras seperti kursi, meja, rotan, dan selang. Selain itu adalah listrik dan rokok.

“Bahkan di tahun 2018 sempat ada interogasi di Papua dengan menggunakan ular,” kata Rivanlee.

Menurutnya, penyiksaan ini dilakukan dengan sejumlah motif, seperti mengendalikan massa aksi Reformasi Dikorupsi yang bergejolak pada 2019 lalu dan aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja pada 2020 lalu.

Kemudian, sambungnya, penyiksaan juga kerap dilakukan untuk memperoleh informasi dalam proses investigasi atau penyelidikan tindak kriminal. Sebab bukti-bukti yang ada diduga tidak cukup, kata Rivanlee, aparat lantas memaksa pengakuan dari para tersangka.

“Untuk mengakui satu peristiwa yang sebetulnya tidak pernah mereka lakukan,” kata dia.

Selain itu, penyiksaan juga terjadi di lembaga pemasyarakatan (Lapas). Temuan KontraS mengungkap terdapat dua pola penyiksaan dalam Lapas. Pertama, penyiksaan dilakukan oleh sipir untuk menertibkan para tahanan.
Kedua, penyiksaan dilakukan oleh sesama tahanan sebagai bentuk penghukuman biasa. Persoalan ini kerap muncul karena lapas mengalami kelebihan kapasitas dan jatah konsumsi harian tidak mencukupi.

Tindakan penyiksaan, menurut Rivanlee, juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari konflik bersenjata dan strategi negara dalam menghadapi pemberontakan. Biasanya, penyiksaan ini terjadi di tempat-tempat yang sporadis dan jauh dari jangkauan publik.

Rivanlee juga mempersoalkan tindakan aparat yang kerap melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi persekusi oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas dalam sejumlah kasus diskriminasi.

“Ada pembiaran yang dilakukan secara langsung, ada yang sifatnya itu dibiarkan saja. Dalam konsepsi HAM, itu termasuk dalam pelanggaran hak asasi manusia,” kata dia.
Sementara itu, para pelaku penyiksaan yang mayoritas aparat negara ini jarang diadili melalui pengadilan umum. Impunitas aatau keadaan tidak dapat dipidana itu, sambungnya, membuat peristiwa penyiksaan terus berulang. Padahal sudah ada sejumlah peraturan yang meminta aparat menghindari praktik ini.

“Misal Perkap 2009 itu tentang implementasi standar HAM yang meminta atau bahkan memaksa anggota kepolisian untuk taat dan patuh peraturan internal tersebut,” kata Rivanlee.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>