Connect with us

Berita

Sudah Masuk Prolegnas, DPR Menolak Revisi UU Pemilu Dipertanyakan

AKTUALITAS.ID – Sikap pemerintah dan fraksi-fraksi partai politik di DPR yang menunda revisi Undang-Undang Pemilu mendapat sorotan. Padahal, revisi UU Pemilu sudah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas. “Menurut saya ini sangat patut dipertanyakan dan juga menjadi sangat aneh baik partai politik maupun pemerintah merasa tidak perlu melakukan revisi UU Pemilu,” ujar Peneliti Hukum Perkumpulan […]

Published

pada

AKTUALITAS.ID – Sikap pemerintah dan fraksi-fraksi partai politik di DPR yang menunda revisi Undang-Undang Pemilu mendapat sorotan. Padahal, revisi UU Pemilu sudah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas.

“Menurut saya ini sangat patut dipertanyakan dan juga menjadi sangat aneh baik partai politik maupun pemerintah merasa tidak perlu melakukan revisi UU Pemilu,” ujar Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil dalam diskusi virtual bertema Maju Mundur Revisi Undang-Undang Pemilu, Minggu (7/2/2021).

Fadli mengkritisi alasan partai politik dan pemerintah menunda revisi UU Pemilu karena kerangka hukum kepemiluan tidak perlu diperbarui dalam lima tahun sekali atau jangka waktu tertentu. Menurutnya, alasan tersebut tidak berdasarkan situasi kontestasi demokrasi dan kerangka hukum UU Pemilu.

Justru sebaliknya, kerangka hukum dalam UU Pemilu saat ini mengalami masalah. Itu lah yang mendasari sehingga DPR menyetujui revisi UU Pemilu pada 14 Januari 2021 lalu.

“Kalau menggunakan alasan itu apakah Undang-Undang sekarang sudah memadai untuk digunakan dalam jangka waktu yang panjang? Menurut saya jawabannya tidak. Ada banyak aspek yang harus diperbaiki dan dikuatkan,” ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, seharusnya revisi UU Pemilu tetap dilanjutkan. Ada banyak aspek yang harus diperbaiki dalam UU Pemilu untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Pertama, memperbaiki sistem Pemilu. Ferry menilai, sistem Pemilu yang digunakan selama ini tidak komprehensif. Ditandai dengan mekanisme pencalonan, district magnitude (DM) atau besaran daerah pemilihan hingga electoral justice yang masih berantakan.

Selain itu, masih banyak pihak melayangkan gugatan terhadap UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah ke Mahkamah Konstitusi.

“Ini kan cerminan aktivitas-aktivitas (Pemilu) yang kita lakukan belum menyeluruh, masih tambal sulam, masih adanya kepentingan-kepetingan,” ujarnya dalam diskusi virtual bertema Maju Mundur Revisi Undang-Undang Pemilu, Minggu (7/2).

Aspek kedua, kata Ferry, digitalisasi Pemilu. Menurutnya, sudah saatnya pemerintah dan DPR mengarahkan Pemilu pada teknologi informasi mengikuti perkembangan zaman.

“Kita sudah maju dengan Sirekapnya walaupun dengan segala dan dinamikanya. Tapi bagaimana audit keamanan partisipasi publik ini sangat penting,” sambungnya.

Ketiga, mengenai penataan kelembagaan penyelenggara Pemilu. Ferry menilai proses seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat ini tidak beraturan, belum transparan dan kurang memperhatikan kualitas.

“Ini kan harus ditata dengan baik, dengan seleksi yang transparan, kualitas penyelenggara dan tidak ada ruang-ruang untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu,” ujarnya.

“Perlu juga dibangun komisioner (KPU) cukup saja satu periode dengan misalnya tidak lima tahun tapi tujuh tahun,” ucapnya.

Trending

Exit mobile version