Lindungi Diri, Orang Asia di AS Mulai Beli Senjata


Melissa Min (kiri) dan putranya, James, lakukan aksi solidaritas dengan komunitas Asia-Amerika setelah serangan terhadap komunitas tersebut meningkat sejak awal pandemi virus corona setahun yang lalu, di Philadelphia, Pennsylvania, AS, 17 Maret 2021 (Foto: voaindonesia.com/Reuters)

Sejumlah orang keturunan Asia di Amerika Serikat dilaporkan membeli senjata untuk melindungi diri lantaran serangan yang kerap terjadi belakangan ini.

Namun sejumlah komunitas menentang langkah itu.

Pilihan membawa senjata dan perdebatan tentang apakah akan membantu mencegah kekerasan muncul ketika komunitas Asia Amerika dan Kepulauan Pasifik (AAPI) terus dilecehkan, diancam, dan diserang dengan kekerasan.

“Saya tahu betul bahwa senjata tidak membuat kita aman,” kata ketua Newton Action Alliance (NAA), Po Murray, mengutip CNN, Rabu (5/5).

NAA merupakan kelompok nasional pencegahan kekerasan senjata akar rumput yang dibentuk setelah insiden penembakan Sandy Hook tahun 2012.

“Adalah mitos umum bahwa orang baik dengan senjata akan melindungi kita dari orang jahat bersenjata,” ujarnya.
Lihat juga: WNI Ungkap Kondisi di Atlanta Terkait Sentimen Anti-Asia

Murray dan aktivis Asia Amerika lainnya mengaku prihatin kepada orang-orang yang mencari rasa aman dengan membeli senjata.

Wakil presiden kelompok advokasi nasional Moms Rising, Gloria Pan, mengatakan secara historis, orang Asia-Amerika tidak terlibat dalam debat senjata seperti kelompok lain.

Hambatan budaya, etnis dan bahasa telah, terang Pan, memengaruhi kemampuan mereka untuk sepenuhnya memahami masalah tersebut, bersama dengan kurangnya sumber daya multi-bahasa dan kemitraan dengan organisasi lokal.

“Jika Anda orang Asia-Amerika dan Anda sedang mempertimbangkan untuk membeli senjata, coba pikirkan baik-baik secara rasional,” ujar Pan, Selasa (4/5).

Pan beranggapan membawa senjata bisa jadi dapat memicu konsekuensi lain yang tidak diinginkan dan membahayakan.

Di sisi lain, sebuah kelompok baru menawarkan diri membantu orang Asia mempelajari cara memegang hingga menembak menggunakan pistol jika mereka mau.

Pendiri dan presiden Missouri Asian American Youth Foundation Caroline Fan, mengatakan ia diminta orang-orang di komunitasnya, termasuk imigran generasi pertama, untuk membantu menemukan kursus pelatihan keselamatan senjata.

“Saya tidak berpikir bahwa senjata membuat kita lebih aman. Saya memahami ketakutan itu. Tetapi saya hanya ingin komunitas kami menemukan pilihan lain,” kata Fan.

Orang Asia-Amerika, lanjut Fan, jarang berbicara mengenai dampak kekerasan senjata, dan penting untuk mulai membicarakannya.

Penembakan di spa di Atlanta Maret lalu mengingatkan Fan pada insiden di Midwest dan menyebabkan mantan pelatih bola basket Northwestern University Ricky Byrdsong serta seorang mahasiswa Korea-Amerika di Universitas Indiana tewas.

“Saya ingat teror,” ucap Fan. “Pada usia 18 tahun, saya menyadari bahwa ada orang di luar sana yang akan menembak kami karena kami terlihat berbeda.”

Para pendukung pembelian senjata memperingatkan mengenai risiko bagi orang yang mungkin belum sepenuhnya terlatih menangani senjata api atau menyimpannya dengan benar.

Seperti dialami Mike Song yang kehilangan putranya berusia 15 tahun, Ethan, setelah tidak sengaja menembak dirinya sendiri dengan senjata di rumah tetangganya di Guilford, Connecticut pada 2018.

Song mendesak orang agar mempertimbangkan cara lain untuk keamanan.

Penjualan senjata di Amerika disebut melonjak tahun lalu.

Berdasarkan data National Shooting Sports Foundation, bulan lalu, FBI melakukan pemeriksaan terkait latar belakang kepemilikan senjata lebih dari 3,5 juta pemeriksaan.

Dari jumlah itu, hampir 1,7 juta pemeriksaan latar belakang senjata tersebut khusus untuk pembelian senjata.

Kelompok perdagangan industri senjata api mereferensikan data FBI dengan angka penjualan aktual yang diberikan oleh pedagang senjata untuk menentukan berapa banyak senjata yang dijual setiap bulan.

Seorang advokat hak senjata dan mantan juara “Top Shot” dari History Channel, Chris Cheng, menjawab banyak email dan pesan media sosial dari orang Amerika keturunan Asia yang ingin membeli senjata api pertama mereka dalam beberapa bulan terakhir.

Banyak orang Asia Amerika yang memiliki persepsi bahwa mereka adalah “lapisan pertama perlindungan” diri sendiri. Mereka pikir penegakan hukum tak bisa diandalkan.

Bulan lalu, klub Asian American and Pacific Islander Gun Owners (AAPI GO) dibentuk untuk menekankan keamanan dan tanggung jawab kepemilikan senjata di kalangan masyarakat.

Salah satu pendiri grup, Vincent Yu, mengaku bergabung setelah melihat kurangnya pesan solidaritas dan tindakan yang mendukung komunitas AAPI usai penembakan spa di area Atlanta dan serangan kekerasan anti-Asia. Dia ingin memberi dampak positif di masyarakat.

Yu telah memiliki senjata api selama beberapa tahun, karena dia tertarik pada olahraga menembak.

Scott Kane, salah satu pendiri grup, berbulan-bulan mengaku mulai mencari cara bertahan setelah istri dan putrinya, yang orang Asia, diteriaki dan diludahi oleh sekelompok pria dari mobil pikap.

“Saya mulai mencari pertahanan dan opsi pribadi, yang akhirnya membawa saya ke pembelian senjata api pertama saya,” kata Kane.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>