Connect with us

Berita

Islam Memuliakan Wanita, Pembagian Waris Jadi Buktinya

Alquran Surat an-Nisa ayat 19 mengubah pemikiran orang Arab tentang kewarisan. Awalnya, hanya orang dewasa dari kaum laki-laki yang berhak menerima warisan, sementara anak kecil, wanita, dan orang tua tidak berhak menerima pusaka (warisan). Aulia Muthiah dan Sri Pratiwi Hardani dalam bukunya, Hukum Waris Islam, menuliskan, sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai […]

Published

pada

Alquran Surat an-Nisa ayat 19 mengubah pemikiran orang Arab tentang kewarisan. Awalnya, hanya orang dewasa dari kaum laki-laki yang berhak menerima warisan, sementara anak kecil, wanita, dan orang tua tidak berhak menerima pusaka (warisan).

Aulia Muthiah dan Sri Pratiwi Hardani dalam bukunya, Hukum Waris Islam, menuliskan, sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliyah dengan tegas menyatakan.

“Bagaimana mungkin kami memberikan warisan harta peninggalan kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggang kuda, tidak mau memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh.”

Jadi kata penulis, mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan sebagaimana mereka mengharamkan kepada anak-anak kecil. Namun, dengan diawali turunnya ayat tentang hak perempuan, yaitu Surat an-Nisa ayat 19, maka yang diharamkan mendapat warisan itu menjadi halal.

An-Nisa ayat 19 itu artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu memusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepada hanya. Terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji (zinah dan membangkang perintah) yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka yang lemah, maka bersabarlah karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini sebagai berikut, “Orang-orang jahiliyah dahulu, apabila salah seorang dari mereka meninggal dunia para walinya merasa lebih berhak untuk mewarisi istrinya. Apabila wanita tersebut tidak mau, maka mereka nikahkan wanita itu dengan laki-laki yang mereka kehendaki.”

“Ayat ini bertujuan untuk membela kaum wanita karena pada masa jahiliyah, masyarakat yang akhlaknya sangat buruk,” katanya.

Salah satunya adalah jika seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan istrinya, anak laki-laki tersebut boleh datang kepada istri ayahnya (ibu tiri) atau datang salah satu dari kerabat suami kepada perempuan tersebut kemudian meletakkan pakaiannya kepada bekas istri tersebut. Dan bila sudah terjadi hal tersebut, yang laki-laki bersangkutan lebih berhak untuk memperistrinya daripada orang lain.

“Walaupun yang memperistri adalah anak tirinya. Maka, sejak saat itu kebebasan wanita tersebut atas dirinya telah diambil alih oleh anak sang ayah atau keluarganya,” katanya.

Menurut penulis, jika mereka hendak menikahinya, itu dilakukan tanpa membayar mahar dengan alasan mahar yang dibayar sama ayah bekas suaminya sudah cukup untuknya. Dan, jika perempuan tersebut tidak dinikahi, maka perempuan itu dibiarkan, bahkan dipersulit keadaannya.

“Jika perempuan itu hendak memperoleh kebebasan, janda tersebut terpaksa membayar dengan seluruh warisan yang diperoleh,” katanya.

Jadi, maksud ayat ini kata penulis adalah bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan menurut adat sebagian Arab jahiliyah apabila seseorang meninggal dunia. Maka, anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi dan janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi.

“Dengan adanya ayat ini sangat jelas bahwa wanita bukanlah sebagai harta warisan berdasarkan kalimat tidak halal memusakai wanita dengan jalan paksa, dan juga berdasarkan ayat ini wanita berhak atas harta warisan yang dia pusaka dari mantan suaminya,” katanya.

Dalam ayat ini, anak tiri atau kerabat mantan suaminya tidak berhak memaksa wanita itu untuk menjadi istri. Jika memang kerabat mantan suami hendak menikahinya, dia harus membayar mahal untuk wanita tersebut. Jadi, sangat jelas bagi kita bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memperlakukan kaum wanita secara zalim detik mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka.

“Barulah setelah Islam datang, ada ketetapan syariah yang memberikan mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan penuh kemuliaan tanpa direndahkan,” katanya.

Trending

Exit mobile version