Presiden, Antara Nila dan Sebelanga Susu


Ilustrasi/Aktualitas.id

TADINYA saya pikir, tontonan sinetron di tv-tv itu adalah tayangan yang paling absurd, lucu, dan menggelikan. Tapi ternyata saya keliru karena kali ini ada tontonan yang jauh lebih absurd, lucu, sekaligus tidak bermutu bahkan cenderung menelikung akal sehat- yang mau tak mau- harus ditelan oleh pemirsa se-Indonesia.

Kecewa, masygul, gregetan, marah, dan semacamnya adalah ungkapan rasa yang tak bisa dipungkiri oleh setiap orang yang masih peduli dengan marwah bangsa ini. Pesta lima tahunan yang diharap demokratis berubah heboh.

Geger di Indonesia terjadi usai Mahkamah Konstitusi diobok-obok dan dikencingi dengan pongah dan ugal-ugalan oleh para bandit yang merasa hebat bahwa tanpa mereka, negeri ini akan kacau balau. Lebai memang.

Ceritanya, sinetron lima tahunan kali ini bertema ketamakan, rakus, dan serakah. Cerita diawali dengan kemunculan kang martabak yang sejatinya belum ‘cukup umur’ tapi secara ajaib tiba-tiba bisa ‘dikarbit’ jadi calon wapres lewat jurus ‘sim salabim’ mantra ampuh sang paman.

Dan sungguh tak habis pikir, tanpa rasa sungkan dengan mimik polos dan tersenyum, -sekali lagi tersenyum-, bapak kang martabak yang nyaris sepuluh tahun jadi nakhoda Indonesia berkomentar, “Ya, sebagai orang tua, saya hanya mendoakan dan merestui.”

Ehh buseeet….! Tak adakah sedikit tebersit rasa jengah atau apa gitu? Woooiii…, ini ada pasal konstitusi yang dianiaya dan ‘diakali’ secara semena-mena loh!

Maka tak perlu berlama-lama, tsunami cibiran pun datang silih berganti. Dari lawan politik, bahkan sampai ‘hulu balang’ pun turut menyesalkan cara-cara vulgar dan tak elok yang sukses menyayat hati siapa pun yang masih mau berpikir waras.

Sekadar contoh saja, bu menteri dan pak menteri, dua orang pembantu setianya yang selama ini begitu tulus membantu pun tampak bergetar dan berkaca-kaca, bahkan dengar-dengar pak menteri sampai nangis dibuatnya.

Mungkin keduanya dan tentu banyak lagi yang lain begitu syok dan tak menyangka, benarkah di penghujung masa baktinya, sang nakhoda yang terlihat kalem dan sederhana itu, berani bermain nila di atas sebelanga susu?

Semua bertanya-tanya, kenapa jadi begini amat ya? Apa utang Indonesia pada keluarga harmonis itu? Sampai-sampai anak dan mantunya diibuatkan kursi khusus di Solo dan Medan, lalu si kecil pun dibagi kursi ketua partai dengan cara-cara yang lagi-lagi terlihat lucu dan menggelikan.

Sekali lagi, apa benar semua ini adalah karena cawe-cawenya?

Tapi ya sudahlah, penonton harus bersabar sampai beberapa hari ke depan, bagaimana akhir cerita sinetron ini.

Setelah apa yang dilakukan sang nakhoda untuk Indonesia selama hampir satu dasawarsa ini, kita tunggu apa yang akan terjadi dengan sebelanga susu hasil kerja kerasnya.

Boleh jadi, nila itu akan merusak sebelanga susunya, tapi bisa juga yang rusak adalah susu di sebelahnya. Who knows…. [Samsu/Red]

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>