Connect with us

NASIONAL

Konten Digital ‘Liar’, KPI Desak DPR Segera Sahkan UU Penyiaran Baru

Aktualitas.id -

Ilustrasi, Foto: Ist

AKTUALITAS.ID – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan dukungan penuh terhadap langkah DPR RI untuk merevisi Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Menurut KPI, regulasi yang ada saat ini sudah tidak lagi relevan dengan pesatnya perkembangan zaman dan lanskap penyiaran, terutama dengan masifnya penetrasi konten audio visual melalui platform digital.

Komisioner KPI Pusat, Tulus Santoso, menegaskan bahwa revisi UU Penyiaran adalah langkah yang tepat dan mendesak. “Kami pastinya mendukung langkah legislatif untuk merevisi UU Penyiaran. Karena memang UU Penyiaran kita sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Sehingga perlu untuk disesuaikan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (11/4/2025).

Tulus Santoso, yang juga menjabat sebagai Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, menjelaskan kemajuan teknologi telah membawa implikasi besar bagi sektor penyiaran. Salah satunya adalah banjir konten audio visual yang tidak terkendali dan mudah diakses masyarakat melalui perangkat genggam mereka. “Kehadiran UU Penyiaran untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya publik yakni frekuensi tidak menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. TV dan radio melalui UU Penyiaran tahun 2002 sudah diatur sangat ketat, tapi bagaimana dengan konten audio visual yang saat ini penetrasinya lebih masif dan hadir setiap waktu digenggaman masyarakat melalui gawai,” ungkap Tulus.

Ia mengungkapkan bahwa selama ini, banyak masyarakat yang justru mempertanyakan kepada KPI mengenai konten-konten yang beredar di platform digital dan menilai banyak di antaranya meresahkan. Terkait kekhawatiran sejumlah pihak bahwa revisi UU Penyiaran dapat membelenggu pers dan demokrasi, Tulus menilai hal tersebut sebagai ruang dialog penting yang harus didiskusikan secara konstruktif dengan para pembuat undang-undang.

Tujuannya adalah untuk menyamakan persepsi dan memastikan revisi tersebut tidak menimbulkan perbedaan interpretasi yang merugikan. “Menurut saya, kekhawatiran wajar muncul. Tapi spirit revisi inikan untuk perlindungan publik, termasuk industri tempat dimana insan pers bekerja. Kita harus juga sama-sama mengawal dan berdialog dengan pembuat undang-undang sehingga persepsinya bisa sama. Pertaruhan yang bahaya menurut saya kalau DPR dan pemerintah ingin membungkam pers,” jelas Tulus.

Tulus juga menanggapi kekhawatiran revisi UU Penyiaran berpotensi menghambat kebebasan berekspresi karena akan diperluas untuk mengatur konten di media sosial. Menurutnya, penolakan semacam itu wajar terjadi karena belum adanya kesamaan persepsi publik mengenai batasan yang sebaiknya diatur dan yang tidak. “Kalau kita sering membuat konten yang positif, edukatif, kemudian kita juga enggan dengan konten yang sekedar mempertontonkan sensualitas, maka seharusnya pengaturan itu menjadi baik,” katanya.

Menjawab pertanyaan mengenai kemungkinan mengatur konten di platform digital, Tulus mengakui hal tersebut bukanlah tugas yang mudah. Namun, ia menekankan negara tetap memiliki tanggung jawab untuk hadir dan melindungi masyarakat dari dampak negatif konten yang tidak sehat. Ia mencontohkan langkah yang telah diambil oleh Uni Eropa dengan mengeluarkan Audio Visual Media Service Directive Act pada tahun 2018, yang mengatur konten audio visual di wilayah mereka.

“Tentu bentuk pengaturannya berbeda dengan Free To Air (FTA). Selain itu, Kami juga tidak dalam posisi media baru harus diatur KPI. Kami memasrahkan pada pembuat undang-undang. Semangat kami adalah, negara harus hadir dan kita tidak boleh kebobolan jika memang ingin melindungi masyarakat,” pungkas Tulus. Dukungan KPI ini menjadi angin segar bagi upaya revisi UU Penyiaran yang diharapkan dapat mengakomodir perkembangan teknologi dan melindungi masyarakat dari dampak negatif konten di era digital. (Mun/Yan Kusuma)

Continue Reading

TRENDING

Exit mobile version