Connect with us

NUSANTARA

Tragedi di Tengah Pesta: Ketika Tiga Nyawa Melayang demi Euforia Kekuasaan

Aktualitas.id -

Pesta pernikahan anak Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dengan anak Kapolda Metro Jaya Irjen Karyoyo berakhir tragis. Tiga orang tewas akibat terinjak-injak. Foto: Ist

AKTUALITAS.ID – Insiden tragis di Alun-Alun Garut yang menewaskan tiga orang, termasuk seorang anak dan seorang anggota polisi, meninggalkan luka mendalam di masyarakat Jawa Barat. Tragedi ini bukan akibat bencana alam atau kecelakaan tak terduga, melainkan terjadi di tengah euforia pesta rakyat yang digelar dalam rangkaian syukuran pernikahan seorang pejabat daerah. Ironisnya, pesta yang mengatasnamakan rakyat ini justru berujung pada korban jiwa dari rakyat itu sendiri.

Ketua Umum Paguyuban Masyarakat Garut Utara, Rd H Holil Aksan Umarzen, menyatakan tragedi ini seharusnya bisa dicegah. Pernyataan tersebut menjadi sorotan terhadap lemahnya perencanaan, kurangnya mitigasi risiko, serta sikap arogan dalam melaksanakan acara yang seharusnya bernilai etika dan empati. Pesta yang semula berniat sebagai momen kebersamaan berubah menjadi pertunjukan kekuasaan. Makanan gratis yang dibagikan, alih-alih menjadi simbol kebaikan, justru memicu malapetaka.

Masyarakat berdesakan berebut makanan di tengah himpitan kondisi sosial dan ekonomi yang menuntut efisiensi anggaran. Paradoks terjadi ketika pejabat mengajak rakyat untuk berhemat, sementara mereka sendiri menggelar pesta besar yang menimbulkan korban jiwa. Efisiensi, dalam konteks ini, seharusnya berarti menghindari pemborosan nyawa, bukan sekadar penghematan anggaran.

Kehadiran santunan dalam jumlah tertentu sebagai ganti nyawa yang hilang pun menuai kritik tajam. Nilai materi tidak dapat menggantikan kehilangan nyawa dan menjadi tamparan bagi nurani kemanusiaan.

Gubernur Dedi Mulyadi pernah menegaskan budaya Sunda tidak mengenal tradisi mengundang orang untuk antre makanan. Namun kenyataannya, tragedi ini memperlihatkan warga berebut makanan hingga menimbulkan korban jiwa di pelataran sebuah pesta kekuasaan.

Nilai-nilai budaya seperti silih asah, silih asih, silih asuh yang selama ini dijunjung tinggi kini tergerus menjadi narasi kosong. Tradisi berbagi yang dulu sederhana dan hangat kini tergantikan dengan panggung dan sorotan media.

Meskipun pesta tersebut telah dihentikan, yang paling dibutuhkan saat ini bukan sekadar penjelasan, melainkan pertanggungjawaban moral, hukum, dan politik. Rakyat bukanlah pelengkap acara atau alat pencitraan, melainkan manusia yang nyawanya tidak boleh dipertaruhkan demi sebuah seremoni.

Lebih baik satu pesta dibatalkan daripada satu nyawa melayang, apalagi tiga. Garut sedang berduka, namun duka ini bukan hanya milik Garut, melainkan seluruh Jawa Barat. Semua yang berkuasa harus bersimpati dan hadir secara nyata sebagai manusia, bukan sekadar formalitas.

Jika kekuasaan tidak mampu menebarkan empati, setidaknya biarkan tragedi ini menjadi pengingat harga nyawa terlalu mahal untuk dipertaruhkan demi popularitas. Kekuasaan sejati adalah keberanian untuk berkata “cukup” demi keselamatan rakyatnya. (Ari Wibowo/Mun)

TRENDING

Exit mobile version