OPINI: Refleksi Akhir Tahun 2019 BPJS Kesehatan


Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS Kurniasih Mufidah. Dok Pribadi.

Penghujung tahun 2019 ditandai dengan pro-kontra rencana kenaikan iuran BPJS yang akan mulai diberlakukan pada tahun 2020. Tidak seperti kenaikan iuran sebelumnya, kenaikan iuran di 2019 ini membuat kita perlu melihat kembali esensi dari penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional (JKN).

Melalui Pasal 34 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia, negara wajib mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Bahkan, Pasal 34 ayat 1 mengatakan “Fakir Miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.

Dalam konteks kesehatan, bahwa iuran BPJS Kesehatan (oleh kaum miskin) harus ditanggung oleh negara. Lebih khusus lagi, Pasal 28H UUD juga menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk medapatkan pelayanan kesehatan. Selanjutnya Pasal 34 UUD juga menyebutkan negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas kesehatan. 

Pemenuhan layanan kesehatan juga bagian dari upaya untuk memperbaiki Human Capital Index (HCI) Indonesia yang saat ini masih berada di urutan ke 86, tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia dan Thailand.

Jika berkaca dari sini, maka menjadikan setiap warga mendapat layanan kesehatan berkualitas sesuai kebutuhannya adalah investasi modal manusia untuk pembangunan bangsa.

Sehingga tidak perlu ada keterpaksaan dalam penyediaan pelayanan kesehatan, apalagi kemudian mengarah ke komersialisasi yang membebani rakyat. Namun fakta yang kemudian terjadi adalah alokasi anggaran negara untuk pelayanan kesehatan ini masih kecil.

Tata kelola BPJS Kesehatan dan Permasalahannya

Penyelenggaraan JKN oleh Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan wujud pemerintah dalam memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada setiap warga dan memenuhi hak warga dalam mendapatkan pelayanan kesehatan.

JKN dilakukan dengan pendekatan asuransi sosial dimana warga masyarakat didorong untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan dengan membayar iuran (premi?) dengan besaran tertentu sesuai kelas pelayanan yang ingin didapatkan.

Ada yang menjadi peserta dengan iuran yang dibayarkan melalui tempatnya bekerja (dengan pemotongan upah untuk pembayaran iuran), ada yang membayar secara mandiri. Mekanisme sosial dilakukan dengan adanya sekelompok masyarakat (kelompok masyarakat miskin) yang menjadi peserta dengan iuran yang dibayarkan oleh pemerintah (pusat/daeeah) dengan istilah penerima bantuan iuran.

Dalam perkembangannya keanggotaan mandiri menjadi seperti dipaksakan dengan keanggotaan “paket” dimana peserta mandiri yang mendaftar harus sekaligus dengan anggota keluarga lainnya yang berada dalam satu kartu keluarga (KK). Dengan pendekatan tersebut, jumlah peserta terus meningkat dengan tajam dari 133,4 juta pada 2014 menjadi 208 juta pada akhir 2018 dan 222 juga pada 2019.

Dari sisi kepesertaan, lonjakan jumlah peserta BPJS yang hampir 2 kali lipat sejak awal digulirkan bisa dikatakan sebagai kesuksesan penyelengaraan JKN. Namun lonjakan jumlah peserta ini juga kemudian memunculkan bom waktu terkait kemampuan klaim dan kaipitasi.

Puncaknya terjadi di 2019 ketika rasio klaim (perbandingan antara biaya manfaat dengan penerimaan iuran) mencapai 123% dan total defisit sampai akhir 2019 diperkirakan mencapai Rp. 32 Triliun. Kondisi defisit inilah yang kemudian menyebabkan manajemen BPJS mengajukan kenaikan besaran iuran yang cukup tinggi dan menimbulkan kontraversi.

Penyelenggaraan JKN melalui BPJS Kesehatan memang bertujuan sangat baik yaitu untuk memberikan jaminan pelayanan kesehatan kepada setiap warga dan memenuhi hak warga dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun upaya mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) melalui BPJS Kesehatan dinilai terlalu cepat bagi negeri sebesar Indonesia.

Indonesia bukan hanya besar dari sisi jumlah penduduk namun juga besar dari sisi luasan wilayah, apalagi tersebar ke dalam ribuan pulau. Kedua hal ini saja berimplikasi pada penyediaan layanan kesehatan yang membutuhkan pembiayaan yang sangat besar.

Artinya, jika pemerintah ingin memberikan jaminan pelayanan  kesehatan yang bisa meng-cover ratusan jumlah penduduk dan pelayanan yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, harus tersedia anggaran yang cukup yang berasal dari iuran peserta dan tambahan subsidi dari anggaran negara.

Permasalahannya kemudian adalah iuran yang ditetapkan bagi peserta sejak awal dimunculkannya BPJS Kesehatan dinilai terlalu rendah dibandingkan pembiayaan manfaat yang diberikan. Saat awal terbentuk, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mengusulkan besaran iuran Rp. 27.000 namun kemudian yang ditetapkan adalah Rp. 19.225.

Kemudian saat kenaikan di 2016, besaran iuran yang diusulkan DJSN sebesar Rp. 36.000 namun yang ditetapkan Presiden adalah Rp. 23.000. Gap yang cukup besar ini diperkirakan akan sulit mengoperasikan JKN, apalagi dengan semangat untuk terus memperluas kepesertaan dengan berbagai pendekatan.

Disisi lain, kualitas kesehatan masyarakat Indonesia yang rendah dan tingkat resiko kematian yang tinggi akibat penyakit maupun kecelakaan.

Sehingga potensi beban pembiayaan pemberian manfaat juga tinggi. Pada tahun 2014 saja, dengan peserta 133,4 orang, rasio klaim sudah mencapai 104,5%. Sekali lagi, wilayah luas yang harus dilayani dengan jumlah penduduk besar serta resiko sakit yang tinggi merupakan beban tersendiri untuk menyelenggarakan UHC.

Sementara dari sisi pendapatan masyarakat, sejak 2014 perekonomian juga tidak kunjung membaik dan hanya tumbuh di kisaran 5%. Hal ini menyebabkan daya beli dan daya bayar untuk berbagai iuran termasuk BPJS Kesehatan juga menurun.

Akibatnya banyak tunggakan iuran di masyarakat terutama yang berasal dari peserta BPJS mandiri kelas 2 maupun kelas 3. Pada pertengahan 2019 lalu, utang tunggakan iuran ini mencapai Rp. 3,4 trilun, teramsuk iuran yang belum dibayarkan perusahaan bagi peserta pekerja penerima upah.

Permasalahan yang kedua adalah terkait dengan data kepsertaan. Sejak awal, ketika diltetapkan berbagai klasifikasi peserta dan kelas, terutama dengan adanya klasifikasi peserta bukan penerima upah (PBPU) yang iurannya tidak dibayarkan oleh pemerintah (pusat/daerah) maupun perusahaan tempatnya bekerja, dan peserta penerima bantuan iuran (PBI).

Klasifikasi data yang salah sejak awal menyebakan pada 2019 terdapat 27,44 juta peserta yang bermasalah dimana 17 juta peserta yang tidak memiliki NIK, 10 juta NIK ganda dan 21 ribu faskes yang kosong.

Akibatnya BPKP juga memerintahkan untuk melakukan cleansing data untuk memastikan pemberian manfaat diberikan kepada orang yang tepat dan tidak membebani keuangan BPJS.

Dampak selanjutnya dari defisit yang meningkat serta tunggakan iuran yang makin besar adalah kewajiban pembayaran kepada penyedia layanan kesehatan yang melayani peserta BPJS seperti klinik dan rumah sakit juga semakin membengkak.

Sampai akhir 2019, tunggakan kewajiban kapitasi BPJS Kesehatan ke berbagai fasilitas kesehatan mencapai Rp. 11 triliun. Bagi Rumah Sakit kecil seperti milik ormas, individu atau klinik kecil, ini akan sangat memberatkan dan dapat berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan.

Potensi Fraud dalam Penyelenggaraan JKN

Salah satu permasalahan ditengah carut-marut penyelenggaraan BPJS Kesehatan adalah adanya potensi penipua (Fraud) yang dilakukan oleh berbagai pihak yang akan menambah beban berat BPJS.

BPJS melibatkan perputaran uang yang sangat besar dari 222 juta peserta. Pada tahun 2018, pendapatan dari iuran mencapai hampir Rp. 82 triliun . Wajar jika potensi terjadinya fraud atau penipuan juga sangat tinggi karena BPJS melibatkan banyak pihak dari mulai penarikan iuran sampai dengan pemberian layanan kesehatan di berbagai tingkatan. ICW menemukan 49 potensi fraud yang dilakukan baik oleh peserta BPJS Kesehatan, BPJS sendiri, maupun penyedia obatnya.

Di tingkat peserta, fraud muncul dalam bentuk penggunaan kartu JKN-KIS oleh yang bukan pesertanya. Dalam hal layanan kesehatan, fraud muncul dalam hal pemberian rujukan, penghindaran memberikan pelayanan, penggunaan obat dan peralatan kesehatan. Ada juga bentuk fraud yang merugikan peserta yang kemudian bisa berdampak mengurangi kepatuhan untuk membayar iuran yang selanjutnya berdampak pada defisit keuangan BPJS.

Berbagai upaya perlu dilakukan untuk mencegah dan mengurangi fraud ini. Mulai dari penyadaran kepada peserta untuk taat dalam membayar iuran BPJS dan tetap melakukan upaya pencegahan penyakit, sampai dengan membuat aturan yang ketat bagi fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) maupun tingkat rujukan lanjutan (FKTRL) untuk memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan yang seharusnya dan tidak menelantarkan pasien peserta BPJS.

Masing-masing pihak baik peserta, penyedia layanan kesehatan maupun manajemen BPJS harus saling memahami kewajiban  masing-masing agar tidak semakin memperbesar carut-marut permasalahan di penyelenggaraan JKN ini.

Penyelesaian Komprehensif dan Bertahap

Harus diakui penyelenggaraan BPJS Kesehatan telah cukup membantu masyarakat terutama kelompok miskin untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai yang dibutuhkan. Namun defisit BPJS yang semakin besar juga tidak boleh dibiarkan karena berimplikasi pada kepesertaan dan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas kesehatan di berbagai tingkatan.

Di sisi lain, masyarakat kurang mampu yang menjadi peserta mandiri juga tidak boleh diberikan beban yang semakin berat dengan rencana kenaikan iuran untuk menutupi defisit yang besar. Momentum rencana kenaikan iuran BPJS yang cukup tinggi (mencapai 100% padahal Pemerintah semula menyebutkan hanya sekitar 50%) untuk menutupi defisit ini harus digunakan untuk melakukan pembenahan terhadap pengelolaan JKN.

Pembenahan harus dilakukan mulai dari permasalahan data kepesertaan, kepatuhan pembayaran iuran, pelayanan oleh fasilitas kesehatan, pembayaran kapitasi kepada fasilitas kesehatan dan manajemen keuangan. Dalam hal data kepesertaan, pemerintah perlu menuntaskan proses cleansing data peserta agar lebih tepat sasaran.

Koordinasi lintas Kementerian dan Lembaga (K/L) perlu dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Kementerian Sosial lebih berfokus pada masalah data kepesertaan terutaa untuk peserta PBI dan tidak berlepas tangan terhadap masalah BPJS.

Kementerian Kesehatan berfikus pada perbaikan pelayanan oleh Faskes dan berbagai sistem yang dibuat untk membuat pelayanan bagi peserta BPJS bisa berjalan lebih baik. Ini diperlukan  agar masyarakat lebih memiliki kepatuhan dalam melakukan pembayaran iuran BPJS karena merasa setimpal dengan pelayanan yang diberikan.

Manajemen BPJS berfokus pada upaya meningkatkan dan memperbaiki mekanisme kolektabilitas iuran untuk memudahkan peserta dalam membayarkan iuran kepesertaan tanpa harus menakut-nakuti peserta yang menunggak yang bisa jadi disebabkan oleh berbagai faktor.

Tidak ada jaminan bahwa menaikan iuran dan penerapan “ancaman” bagi peserta yang menunggak akan mengatasi persoalan defisit BPJS. Bahkan sangat mungkin terjadi hal yang sebaliknya diminta masyarakat semakin sulit memenuhi kewajiban pembayaran iurannya.

Kementerian Keuangan berfokus pada masalah bagaimana mengatasi defisit keuangan BPJS Kesehatan yang semakin tinggi namun dengan cara-cara yang tepat. Pemerintah harus secara serius menggali dan mengidentikasi akar permasalahan dari defisit BPJS ini agar bisa membuat solusi secara tepat, tidak selalu harus kembali membebani rakyat dengan kenaikan iuran.

Penyelesaian masalah defisit ini perlu dicarikan solusi untuk jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, perlu diupayakan solusi agar peserta BPJS kelas 3 mandiri terutama PBPU tidak ikut terbebani dengan kenaikan iuran.

Perlu dilakukan berbagai upaya untuk menutupi kekurangan dari selisih kenaikan iuran kelas 3 mandiri ini dengan memanfaatkan sumber penerimaan yang ada seperti kontribusi pembiayaan BPJS dari pajak rokok yang belum optimal maupun sumber pembiayaan lain.

Dalam jangka panjang, perlu mempertimbangkan lagi besaran iuran yang layak, alternatif sumber penerimaan, perbaikan data peserta dan target kepesertaan yang lebih realistis agar penyelenggaraan BPJS Kesehatan ini lebih sustainable dan bisa diterima masyarakat.

Di luar hal-hal tersebut, pemerintah harus lebih serius untuk melakukan pembenahan terhadap sistem kesehatan nasional khususnya memperkuat sisi pencegahan dan promosi kesehatan.

Anggaran sektor kesehatan selama ini sangat kurang memperhatikan program dan upaya-upaya pencegahan dan promosi kesehatan. Padahal jika ini diperbaiki dan kualitas kesehatan masyarakat meningkat, jumlah warga masyarakat yang harus melakukan tindakan pengobatan dan memerlukan pelayanan medis dengan menggunakan pembiayaan BPJS bisa berkurang.

Sehingga bisa mengurangi beban pembiayaan BPJS dan tidak mengurangi hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana amanat UUD Pasal 28H.

Oleh: Kurniasih Mufidah

Anggota Fraksi PKS Komisi IX DPR RI Dapil Jakarta Selatan & Luar Negeri

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>