AJI Sebut Kekerasan Polisi Terhadap Jurnalis untuk Sembunyikan Kejahatan


Stop Kekerasan Wartawan

AKTUALITAS.ID – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengungkap ada pola yang teratur dalam setiap tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap wartawan yang meliput unjuk rasa.

Ketua AJI, Abdul Manan menyebut dari kasus-kasus yang pernah ada, kekerasan terhadap jurnalis rata-rata dilakukan ketika jurnalis sedang merekam polisi melakukan tindak kekerasan.

“Polisi melakukan kekerasan terhadap wartawan ketika wartawan sedang merekam polisi melakukan kekerasan terhadap massa. Artinya, polisi tidak mau kejahatannya diketahui oleh publik,” kata Manan dalam konferensi pers secara virtual, Sabtu (10/10/2020).

“Dan yang dia lakukan adalah mengintimidasi wartawan, merusak alat liputan, dan menghapus hasil liputan,” lanjutnya.

Manan juga mengungkap ada banyak kasus kekerasan terhadap wartawan yang ditangani tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) yang berlaku.

Contohnya, kata Manan, kasus kekerasan terhadap tiga wartawan di Makassar, 2019 lalu.

“Kita tahu tahun lalu di AJI Makassar dan LBH Pers melaporkan tiga wartawan yang dipukul polisi karena meliput unjuk rasa pada September. Laporannya September, sampai sekarang enggak ada update,” ujarnya.

Kasus lain adalah laporan yang dilayangkan ke Polda Metro Jaya pada tahun yang sama. Manan menuturkan saat itu ada dua dari lima laporan kekerasan polisi terhadap wartawan ditolak oleh. Namun sampai saat ini tiga laporan yang diterima masih menggantung.

Berkaca kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan yang sampai saat ini menggantung, Manan menyebut ada kesan polisi kebal hukum.

Kekerasan polisi terhadap wartawan kembali terjadi saat demonstrasi tolak Omnibus Law Cipta Kerja di berbagai daerah, Kamis (8/10) lalu.

AJI mencatat 28 jurnalis mengalami kekerasan saat meliput aksi tolak Omnibus Law Cipta Kerja. Data tersebut dihimpun AJI dari 38 kota dari seluruh Indonesia.

Manan menyebut Jakarta jadi daerah paling banyak terjadi kekerasan terhadap wartawan pada 8 Oktober lalu.

Tercatat ada 8 kasus kekerasan terhadap wartawan saat demo tolak Omnibus Law Cipta Kerja di Jakarta. Kemudian di Kota Surabaya dan Samarinda AJI mencatat 6 kasus kekerasan, lalu Semarang dan Palu masing-masing tiga kasus.

Wartawan CNN Indonesia di Jakarta dan Surabaya atas nama Thohirin dan Farid Miftah termasuk korban kekerasan aparat dalam demo Omnibus Law Cipta Kerja.

Thohirin dipukul, diduga oleh aparat, saat bertugas meliput demo di sekitar Simpang Harmoni, Jakarta Pusat, Kamis (8/10) malam. Sementara Farid mengalami intimidasi saat kericuhan pecah di Gedung Negara Grahadi Surabaya.

“Kepala saya dipukul pakai tangan, satu sampai tiga kali, saya lupa. Hp saya dirampas, dibuka, diperiksa galeri, kemudian dibanting. ID pers saya juga diambil lalu dibuang,” kata Thohirin menceritakan kejadian tersebut.

Ketua Bidang Advokasi AJI, Sasmito Madrim berharap pelaporan kekerasan pada jurnalis yang terjadi pada peliputan unjuk rasa Omnibus Law Cipta Kerja diselesaikan sesuai Undang-Undang (UU) Pers, yakni Pasal 18.

Ayat 1 dalam pasal itu berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan peliputan dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak 500 juta rupiah.”

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>