Dapat Kobarkan Perang Baru, Parpol di Sudan Tolak Normalisasi Hubungan dengan Israel


Parpol Sudan menolak keputusan pemerintah untuk normalisasi hubungan dengan Israel. Pejabat partai mengatakan mereka akan membentuk oposisi melawan kesepakatan tersebut.

Puluhan warga Sudan berunjuk rasa di ibu kota Khartoum pada Jumat menyusul pernyataan bersama Israel, Sudan, dan Amerika Serikat. Kedua negara mengatakan sepakat untuk mengakhiri pertikaian.

Sebuah pernyataan dari Partai Kongres Populer, partai ternama kedua dari koalisi politik Pasukan Pembebasan dan Perubahan (FFC) mengatakan, rakyat Sudan tidak wajib menerima perjanjian normalisasi.

“Kami memandang rakyat kami, yang secara sistematis terisolasi dan terpinggirkan dari perjanjian rahasia, tak terikat dengan kesepakatan normalisasi,” jelas pernyataan tersebut, dikutip dari Aljazeera, Minggu (25/10).

“Rakyat kami akan mematuhi posisi historis mereka dan berada di depan untuk menolak normalisasi dan mempertahankan dukungan kami untuk rakyat Palestina agar mereka mendapatkan semua hak mereka yang sah.”

Mantan Perdana Menteri Sudan, Sadiq al-Mahdi juga mengecam pengumuman kesepakatan normalisasi tersebut, menambahkan dia menarik diri dari konferensi agama yang diorganisir pemerintah pada Sabtu di Khartoum sebagai bentuk protes.

Al-Mahdi, yang merupakan perdana menteri terakhir yang terpilih secara demokratis dan pemimpin partai terbesar di negara tersebut mengatakan perjanjian tersebut berlawanan dengan UU nasional Sudan.

“Dan berkontribusi pada penghapusan proyek perdamaian di Timur Tengah dan bisa mengobarkan perang baru,” ujarnya.

Seorang pemimpin Partai Kongres Populer, Kamal Omar menyampaikan dalam sebuah pernyataan terpisah, pemerintah transisi Sudan tidak dipilih dan oleh karenanya tidak sah melakukan normalisasi dengan Israel.

“Pemerintahan transisi ini membajak posisi Sudan untuk memuaskan agen intelijen regional dan internasional,” ujarnya.

Para pengunjuk rasa di Khartoum turun ke jalan dan meneriakkan, “tak ada perdamaian, tak ada negosiasi, tak ada rekonsiliasi dengan entitas penjajah” dan juga meneriakkan, “kami tak akan menyerah, kami akan selalu berdiri dengan Palestina”.

Pemimpin Partai Baath Sudan, Muhammad Wadaa mengatakan front anti normalisasi beranggotakan pasukan sipil dan partai-partai berpengaruh dari dalam dan luar FCC. Partainya juga bagian koalisi FCC.

Wadaa menyampaikan, ada sejumlah partai di dalam koalisi FCC memperingatkan pemerintahan transisi mereka akan menarik dukungan mereka jika normalisasi dengan Israel disepakati.

“Normalisasi dengan Israel adalah sebuah langkah yang ditolak. Pemerintah tidak sah mengambil keputusan itu dengan negara rasis yang mempraktikkan diskriminasi agama,” tegasnya.

Kepada Aljazeera, Wadaa menyampaikan pemerintah membuat satu kesalahan besar dan itu merupakan sebuah langkah yang tidak akan mendapatkan keuntungan secara ekonomi.

Pejabat Palestina kaget karena Sudan menjadi negara ketiga yang menormalisasi hubungan dengan Israel baru-baru ini, setelah Uni Emirat Arab dan Bahrain.

Otoritas Palestina (PA) Presiden Mahmoud Abbas mengecam kesepakatan tersebut dan mengatakan satu-satunya jalan menuju perdamaian adalah dengan menggunakan hukum internasional untuk membuat Israel mengakhiri pendudukannya atas wilayah Palestina.

Pada Sabtu, kementerian luar negeri Iran mengecam langkah Sudan, dengan menyindir: “Bayar cukup uang tebusan, tutup mata Anda pada kejahatan terhadap Palestina, maka Anda akan dikeluarkan dari apa yang disebut daftar hitam ‘terorisme’.”

“Jelas daftar itu sama palsu dengan perang AS melawan terorisme. Memalukan!” lanjut pernyataan tersebut.

Pengumuman normalisasi ini disampaikan tak lama setelah Gedung Putih menyampaikan Trump telah menginformasikan Kongres keinginannya untuk menghapus Sudan dari daftar negara pendukung terorisme.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>