Israel Tunda Sidang Kasus Pengusiran Dua Keluarga Palestina


Ilustrasi, Foto: EPA-EFE/ABED AL HASHLAMOUN

Pengadilan Israel menunda persidangan kasus pengusiran dua keluarga Palestina di distrik Silwan, Yerusalem Timur, yang diduduki pemukim Yahudi, Rabu (28/5).

Penundaan itu terjadi kurang dari tiga pekan setelah kasus serupa di distrik Sheikh Jarrah memicu ketegangan selama 11 hari antara kelompok Hamas Palestina dan Israel.

Sidang itu ditunda usai keluarga Palestina mengajukan petisi kepada jaksa agung untuk mempertimbangkan masalah itu, kata pengacara mereka Yazeed Qawaar.

“Kasus publik seperti ini harus memasukkan opini Jaksa Agung. Jelas bahwa pemerintah (Israel) mendukung proyek pemukim dan oleh karena itu terserah Jaksa Agung untuk bertanggung jawab,” ujarnya, mengutip AFP.

Keluarga yang terusir itu, kata Yazeed, menunggu keputusan Pengadilan distrik Yerusalem apakah akan merujuk file petisi itu ke jaksa penuntut atau tidak.

Di luar pengadilan, terlihat sekumpulan massa termasuk warga Palestina berunjuk rasa sebagai bentuk kepedulian terhadap keluarga yang terusir.

“Bagaimana menurutmu, penjajah?” tulisnya dalam poster yang dibawa salah satu pengunjuk rasa.

Menurut kelompok anti-pendudukan Israel, Peace Now sekitar 700 warga Palestina di daerah Batn Al-Hawa, Silwan, di bukti selatan Kota Tua Yerusalem berisiko mengungsi akibat kasus penggusuran paksa.

Ketua komite lingkungan Batn Al-Hawa, Zuheir Rajabi mengatakan kasus-kasus yang serupa mengkhawatirkan puluhan kerabatnya.

“Keluarga tersebut pertama kali diberitahu tentang pengusiran pada November 2020, dan keputusan itu dikonfirmasi pada Maret 2021,” katanya.

Pada tahun 1980-an para pemukim Israel pindah ke Silwan. Kini, ada beberapa ratus pemukim yang tinggal di antara 50 ribu orang Palestina distrik tersebut.

Pemukim itu merujuk dokumen abad ke-19 dari Kekasaran Ottoman, yang menunjukkan tanah Silwan adalah milik penganut Yahudi.

Namun, pengadilan Israel justru tak mengakui dokumen kepemilikan warga Palestina dari pihak berwenang Yordania, yang mengendalikan Yerusalem Timur hingga 1967. Saat itu, Israel menduduki bagian kota tersebut.

Sejumlah aktivis menyebut undang-undang tahun 1970 yang kerap digunakan Israel untuk menyatakan pemilik tanah Palestina saat ini harus digusur, dan memberikan propertinya kepada orang Yahudi Israel, diskriminatif.

Menurut mereka UU itu tak menawarkan bantuan apapun kepada warga Palestina dan justru merampas hak-haknya.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>