Yusril Tegaskan AD / ART Demokrat Diuji Bukan Atas Kehendak Penguasa


Guru besar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra. (ist)

AKTUALITAS.ID – Kuasa hukum empat kader Partai Demokrat kubu Moeldoko, Yusril Ihza Mahendra, menyinggung produk hukum yang terbit pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Hal itu disampaikan Yusril merespons pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny Kabur Harman yang menganggap dirinya menggunakan pendekatan hukum Adolf Hitler atau totalitarian terkait gugatan AD/ART ke Mahkamah Agung (MA).

Yusril menyatakan bahwa Benny tidak memiliki pijakan intelektual dengan menyatakan negara memaksakan kehendak terkait polemik Partai Demokrat. Yusril menegaskan AD/ART Partai Demokrat diuji bukan atas kehendak penguasa.

Yusril mengatakan AD/ART Partai Demokrat diuji dengan menggunakan dua undang-undang (UU) yaitu UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik serta UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Berangkat dari itu, Yusril mempertanyakan balik apakah dua UU yang dilahirkan di era SBY saat menjabat Presiden keenam RI dan ia jadikan rujukan uji materi itu sebagai produk rezim pengikut Hitler.

“Kalau begitu maksud Benny, maka pengikut pemikiran Hitler itu adalah Presiden SBY dan DPR zaman itu termasuk Benny Harman di dalamnya,” kata Yusril dalam keterangannya, Senin (11/10/202).

Yusril juga menyampaikan, pernyataan Benny terkait keinginan negara untuk memaksakan kehendak tidak memiliki pijakan intelektual sama sekali karena dirinya tidak memiliki jabatan kenegaraan apapun dan berada du luar pemerintah sejak 2007 hingga saat ini.

Yusril menyatakan bahwa dirinya merupakan orang yang sangat mengkritisi pendekatan hukum Hitler saat menjadi mahasiswa pascasarjana di Universitas Indonesia (UI).

Bahkan, menurutnya, pemikiran hukumnya dianggap terlalu Islam saat di bangku kuliah dulu.

“Seingat saya Benny Harman mengikuti kuliah saya Filsafat Hukum dan Teori Ilmu Hukum ketika dia mahasiswa Pascasarjana UI. Peserta pascasarjana tidak mengesahkan dirinya penganut faham totaliter Nationale Sosialismus atau Nazi. Di kampus pemikiran hukum filsafat hukum Yusril malah dianggap terlalu Islam,” kata Yusril.

Yusril juga mengaku pernah disebut sebagai orang ekstrem kanan oleh Panglima Kopkamtib Laksamana Sudomo di era Orde Baru (Orba).

Bahkan menurut Yusril pemerintah Amerika Serikat masih menganggap dirinya sebagai penganut Islam radikal hingga saat ini.

Kata Yusril, hal itu terlihat dari dirinya yang tidak pernah mendapatkan visa untuk masuk ke AS.

“Dua minggu lalu saya dijuluki Pengacara 100 miliar. Sekarang saya dijuluki lagi sebagai Nazi pengikut Hitler. Masih untung saya enggak dijuluki PKI,” kata Yusril.

Benny K Harman sebelumnya menganggap Yusril menggunakan pendekatan Hukum Hitler atau totalitarian terkait gugatan AD/ART ke Mahkamah Agung.

Totalitarian ala Hiter yang dimaksud Benny merupakan lawan dari sistem demokrasi. Sistem totalitarian merupakan bentuk pemerintahan yang bukan hanya menguasai segala aspek ekonomi, politik masyarakat, tapi juga berusaha menentukan nilai baik dan buruk.

“Setelah kami menyelidiki asal usul yang dipakai oleh Yusril Ihza dalam menghadirkan permohonan AD/ART ke MA, maka diduga kuat cara pikir ini berasal dari totalitarian ala Hitler,” ujar Benny di Kantor DPP Demokrat, Jakarta, Senin (11/10).

Benny mengatakan bahwa prinsip totalitarian ala Hitler adalah kehendak negara harus diikuti oleh semua elemen, termasuk organisasi sipil. Kuasa negara tidak terbatas.

“Dalam cara pikir Hukum Hitler yang dikehendaki negara harus diikuti semua organisasi sipil,” kata Benny.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>