Perludem Nilai Biaya Politik Tinggi Bukan Penyebab Kepala Daerah Korupsi


Ilustrasi, Foto: Istimewa

AKTUALITAS.ID – Kepala daerah dalam pusaran kasus korupsi masih marak terjadi. Peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Usep Hasan menilai, biaya politik yang tinggi bukan menjadi penyebab utama kepala daerah korupsi. Tetapi soal transparansi dan akuntabilitas pemerintahan.

“Politik biaya tinggi tidak berbanding lurus dengan tingkat korupsi. Artinya, makin tinggi biaya politik bukan berarti membuat calon terpilih lebih korup. Atau makin tinggi biaya politik suatu daerah/negara, bukan berarti membuat daerah/negara lebih korup,” katanya lewat pesan tertulis, Jumat (7/1/2021).

Dia mengatakan, pada dasarnya, korupsi disebabkan dari sistem transparansi dan akuntabilitas pemerintahan. Makin transparan dan akuntabel, makin bersih dari korupsi.

Usep melanjutkan, kualitas transparansi dan akuntabilitas pemerintahan berkaitan dengan ukuran negara. Semakin besar kewenangan dan komoditas yang dimiliki negara melalui pemerintahannya, maka potensi korupsinya semakin tinggi.

“Indeks persepsi korupsi (CPI) dari Transparency International (TI) secara berkala menyimpulkan itu. Negara-negara kecil, secara ukuran kewenangan, banyak yang masuk kategori bersih (clean),” jelasnya.

Menurutnya, korupsi juga berkaitan dengan sistem politik jika dimaknai sebagai sistem demokrasi yang mencakup sistem pemerintahan, sistem kepartaian, dan sistem pemilu. Kata dia, secara umum, negara korup lebih banyak yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial. Sedangkan, negara sistem parlementer relatif bersih.

Kemudian, negara dengan sistem kepartaian multipartai ekstrim lebih banyak korup. Multipartai yang dimaksud bukan jumlah partai, melainkan jumlah partai di parlemen yang punya kursi relevan atau signifikan secara persentase. Ekstrim dalam arti jumlah partai relevannya lebih dari 5 partai.

“Secara umum, sistem proporsional terbuka lebih korup karena lebih mendorong pembentukan sistem kepartaian multipartai ekstrim. Mengapa sistem presidensial, sistem multipartai ekstrim, dan sistem proporsional terbuka lebih korup?” ucapnya.

“Jawabannya, karena lebih mungkin membentuk pemerintahan yang tidak efektif. Pemerintahan tidak efektif dijalankan dengan korupsi sebagai pelumas. Ini yang terjadi dengan Indonesia, di nasional dan di daerah,” tambah Usep.

Menurutnya, solusi untuk mencegah korupsi adalah lebih menciptakan sistem yang lebih transparan dan akuntabel. Selain itu, memperbaiki sistem politiknya.

“Soal perbaikan sistem politik, kalau mau ubah sistem pemerintahan, harus amandemen konstitusi. Undang-undang dasar hasil Reformasi udah menulis pemilihan presiden langsung yang berarti membentuk sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer,” tuturnya.

Usep berkata, yang paling mungkin adalah mengubah sistem kepartaian dan sistem pemilu dengan cara melalui revisi UU Pemilu. Dia bilang, sistem kepartaian dibentuk dari besaran daerah pemilihan dalam pemilu. Besaran dapil pemilu DPR 3-10 kursi dan besaran dapil pemilu DPRD 3-12 kursi. Sebaiknya angka itu diperkecil jadi 3-5 kursi.

Sementara, untuk sistem pemilu bisa diubah ke proporsional daftar partai, bukan daftar caleg. Dengan memilih sistem proporsional tertutup, sistem kepartaian terbentuk adalah multipartai moderat atau sederhana, bukan ekstrim.

“Kalau kita masih ngotot milih caleg, bukan milih partai, ya kita pilih sistem pluralitas seperti Amerika Serikat saja. Sistem pemilu yang biasa disebut sistem distrik ini, 1 dapil hanya ada 1 kursi. Hasil pemilunya cenderung membentuk sistem kepartaian dwipartai,” ujarnya.

“Amerika Serikat relatif jadi negara yang bersih dari korupsi melalui sistem dwipartai. Negara amerika utara ini memilih presiden langsung. Sistem dwipartai, membuat kerja pemerintah yang ada di luar parlemen lebih efektif sehingga relatif bisa menghindari korupsi di eksekutif dan legislatif,” pungkasnya.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>