Nafkah Suami Yang Harus Diberikan Kepada Mantan Istri Menurut Pandangan Islam


Ilustrasi. Perceraian (pixabay)

AKTUALITAS.ID – Ketika rumah tangga tak lagi bisa dipertahankan, maka perceraian menjadi pilihan. Setiap pasangan tentu pernah merasakan adanya permasalahan dalam rumah tangga.

Ada yang berakhir baik dan justru semakin memperkokoh rumah tangganya.

Namun, ada juga yang permasalahannya semakin kompleks dan tidak terselesaikan, yang bahkan berakhir dengan perceraian.

Perceraian atau bisa juga disebut talak dalam Islam adalah pemutusan hubungan suami istri dari hubungan pernikahan yang sah menurut aturan agama Islam dan negara.

Perceraian biasanya dianggap sebagai cara terakhir yang diambil oleh pasangan suami istri untuk menyelesaikan masalah yang dimiliki.

Di dalam Islam, perceraian dapat memutus hak dan kewajiban antar anggota keluarga, namun tidak berlaku pada kewajiban nafkah dari suami kepada istri dan anak-anaknya.

Dilansir dari berbagai sumber, nafkah yang harus diberikan seorang suami kepada mantan istri dan anak-anaknya terdiri dari empat jenis:

1. Nafkah Iddah (nafkah masa tunggu):

Nafkah Iddah merupakan nafkah yang wajib dipenuhi seorang suami selama istrinya menjalani masa iddah, yakni masa tunggu akibat perceraian sebelum ia dapat menikah kembali. Dalam hal ini, nafkah iddah tidak berlaku pada istri yang diceraikan akibat nusyuz atau pembangkangan.

Nafkah iddah berakhir sesuai dengan selesainya masa iddah istri yang tergantung pada kondisi perceraian. Seperti cerai talak tiga yakni tiga kali suci atau tiga bulan, cerai talak satu dan dua yakni hingga rujuk atau diputuskan talak tiga, serta cerai saat hamil yakni hingga melahirkan.

2. Nafkah Hadhanah (nafkah pemeliharaan anak):

Nafkah Hadhanah merupakan nafkah yang wajib diberikan suami atas anak-anak dengan mantan istrinya. Nafkah anak ini berlaku bagi anak yang mumayyiz (belum dewasa) dan harus dipenuhi hingga anak tersebut mampu mengurus dirinya sendiri.

Dalam Islam, anak laki-laki dianggap dewasa apabila telah mencapai masa pubertas atau sudah baligh dan berakal, sementara anak perempuan dianggap dewasa apabila telah baligh, berakal, dan menikah. Dalam hal ini, dewasa anak dapat juga diukur saat berumur 18 tahun atau sudah menikah.

3. Nafkah Mut’ah (nafkah penghibur):

Nafkah Mut’ah seumpama hadiah yang diberikan kepada istri sebagai penghibur atas perpisahan keduanya, baik berupa uang ataupun benda. Sifatnya sebagai hadiah ini menjadikan nafkah Mut’ah tidak wajib dilakukan, bersifat sukarela, dan disesuaikan dengan kesepakatan atau putusan pengadilan.

Nafkah ini berakhir hingga mantan istri memutuskan untuk menikah kembali yang diartikan istri tidak lagi bersedih akibat perceraian. Namun jika istri tidak menikah kembali, maka nafkah Mut’ah dapat berlaku seumur hidup kecuali dengan kesepakatan dan putusan pengadilan.

4. Nafkah Madhiyah (nafkah masa lampau):

Nafkah Madhiyyah merupakan hak yang dapat dituntut seorang istri serta anak-anaknya atas nafkah terdahulu yang pernah dilalaikan atau belum dipenuhi seorang suami sebelum terjadinya perceraian, dimana tunggakan nafkah tersebut dihitung sebagai hutang.

Nafkah Ini tidak memiliki batas waktu penyelesaian, yakni disesuaikan dengan kelalaian yang dilakukan suami atas nafkah kepada keluarganya. Meski begitu, nafkah Madhiyyah dapat diselesaikan secara sekaligus ataupun bertahap sesuai kesepakatan ataupun putusan pengadilan.

Disisi lain, meski Islam tetap mengatur kewajiban nafkah bagi keluarga yang bercerai, namun keputusan berpisah tetap menjadi perilaku yang dibenci Allah SWT, harus dihindari, serta menjadi pilihan terakhir bagi pasangan suami dan istri. (IYAN KUSUMA/RAFI)

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>