Yusril Nilai Dirty Vote tidak Bisa Disebut Film Dokumenter


Guru besar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra. (ist)

AKTUALITAS.ID – Guru besar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai Dirty Vote tidak bisa disebut sebagai film dokumenter.

Menurut dia, film tersebut layak disebut propaganda kotor atau dirty propaganda karena waktu perilisan dan penayangan dilakukan pada masa tenang dan beberapa hari menjelang pemungutan suara Pemilu 2024.

“Ada yang mengatakan ini Dirty Vote versus dirty propaganda. Satu judul film mengatakan soal pemilu yang kotor, satunya lagi soal propaganda kotor terhadap pihak tertentu yang berada di seberang dari si pembuat film,” ujar Yusril kepada wartawan di Jakarta, Selasa (13/2/2024).

Yusril memaparkan, “Dirty Vote” juga tidak layak disebut film dokumenter. Konten utama dalam tayangan yang hampir berdurasi dua jam itu adalah cuplikan pemberitaan dan tanggapan dari tiga pakar hukum.

“Ketiga pakar tersebut mengomentari berbagai hal yang terjadi dari berbagai pemberitaan, kemudian mereka memberikan pendapat. Ya pendapat itu bisa ditafsirkan oleh banyak orang, termasuk adanya kemungkinan kecurangan Pemilu 2024,” tutur ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini.

Yusril menegaskan, politik sebagai sesuatu yang dinamis sehingga sangat wajar apabila ada orang yang semula mengaku tidak tertarik pada politik, kemudian ikut meramaikan pesta demokrasi.

Pernyataan Yusril tersebut merupakan tanggapan terhadap perubahan sikap calon wakil presiden nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka, yang menjadi sorotan dalam film “Dirty Vote”.

“Saya melihat itu sebenarnya normal saja. Bisa juga kita katakan politik itu dinamis. Mungkin satu ketika anak presiden belum tertarik pada dunia politik, tetapi sekarang bisa saja berubah dan tertarik masuk ke dalam dunia politik,” terangnya.

Yusril juga menyebutkan, ketidaknetralan penyelenggara dan pejabat negara dalam pelaksanaan pemilu, tidak hanya dialamatkan kepada pasangan Prabowo-Gibran semata. Dia mengeklaim, pasangan calon (paslon) nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD menjadi pihak lain yang turut dituduh melakukan kecurangan.

Sayangnya, hanya sedikit sekali tayangkan yang memperlihatkan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. “Jadi, wajar saja orang bertanya-tanya ini film sponsornya siapa, membawa pesan paslon tertentu atau tidak,” tegas Yusril.

Kendati terkesan tendensius dan propaganda, menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia periode 2001-2004 itu menyampaikan, film tersebut adalah bagian dari kebebasan berekspresi.

“Tayangan film ini kita hormati sebagai kebebasan berekspresi. Orang berbeda pendapat itu normal saja. Kalau tiga orang akademisi yang muncul dalam tayangan itu mengkritisi pemilu, toh orang juga bisa mengkritisi terhadap pandangan yang mereka sampaikan,” kata Yusril.

Lebih lanjut, Yusril mengingatkan agar masyarakat tidak terpecah belah setelah menonton film tersebut. Perbedaan pendapat dan pilihan adalah hal yang lumrah sehingga harus disikapi dengan bijaksana.

“Semoga masyarakat luas berpikir jernih dan objektif dan menilai pemilu tidak akan 100% ideal seperti yang kita harapkan. Kemungkinan kekurangan di sana sini itu akan terjadi, tidak dapat kita hindari. Namun paling penting adalah pemilu yang benar-benar jujur dan adil seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 dan UU Pemilu dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,” pungkas Yusril. (YAN KUSUMA/RAFI)

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>