Connect with us

DUNIA

Tiga Bulan Berkuasa, Trump Guncang Fondasi Demokrasi Amerika Serikat

Aktualitas.id -

Aksi DOnald Trump saar kampanye pilpres. (AP)

AKTUALITAS.ID – Baru tiga bulan Donald Trump kembali menduduki kursi kepresidenan, namun Amerika Serikat telah dilanda serangkaian gejolak yang mengkhawatirkan. Menurut laporan Brookings Institute, “retakan berbahaya” mulai menggerogoti pilar-pilar demokrasi AS, mengancam fondasi yang selama ini dianggap kokoh.

Salah satu pilar utama, aturan hukum dan kepatuhan terhadap perintah pengadilan, kini tampak rapuh di bawah kepemimpinan Trump. Pemerintahan Trump tercatat beberapa kali mengabaikan putusan pengadilan, termasuk dalam kasus deportasi Kilmar Abrego Garcia yang keliru dikirim ke penjara berbahaya di El Salvador. Bahkan perintah Mahkamah Agung AS untuk memulangkan Garcia belum juga diindahkan. Hakim Federal Paula Xinis pun tak menyembunyikan kritiknya.

Tak hanya itu, hakim-hakim yang berani menentang kebijakan Trump, seperti James Boasberg, justru menjadi sasaran cemoohan publik dan ancaman pemakzulan. Trump bahkan mempertimbangkan untuk mengganti mereka dengan hakim yang lebih loyal.

Ironisnya, Departemen Kehakiman di bawah kendali Trump diduga kuat digunakan untuk menindak para pengkritiknya. Sejumlah karyawan yang terlibat dalam penyelidikan terhadap Trump dilaporkan dipecat atau dipindahkan dalam beberapa minggu pertama masa jabatannya. Langkah kontroversial lainnya adalah pengampunan massal terhadap hampir 1.600 pelaku penyerbuan Capitol pada 6 Januari 2021, serta penunjukan loyalis partai, Pam Bondi, di Kementerian Kehakiman.

Kebebasan pers pun tak luput dari tekanan. Trump secara terbuka mengecam media-media besar AS seperti CNN dan MSNBC sebagai “korup dan ilegal,” menuduh mereka menyebarkan berita negatif tentang dirinya. Ancaman pencabutan izin penyiaran bahkan dilontarkan selama kampanye pemilu. Bukti nyata pembungkaman media adalah penghentian pendanaan untuk media internasional AS seperti Voice of America (VoA) dan Radio Liberty, yang terancam penutupan, serta pencabutan akreditasi kantor berita AP di Gedung Putih hanya karena perbedaan penyebutan geografis. Meskipun pengadilan menyatakan tindakan ini tidak dapat diterima, pemerintah AS tetap bersikukuh. Kini, Bloomberg dan Reuters pun ikut merasakan pembatasan akses ke konferensi pers Gedung Putih.

Restrukturisasi aparatur negara juga menjadi sorotan tajam. Janji Trump untuk mengakhiri “hari-hari birokrat yang tidak pernah dipilih berkuasa” justru diwujudkan dengan menunjuk Elon Musk, seorang penasihat tanpa legitimasi demokratis, untuk merombak total birokrasi sesuai dengan garis kebijakannya. PHK massal terjadi di berbagai sektor, mulai dari perpajakan, lingkungan hidup, kesehatan, hingga Pentagon. Regulasi lingkungan dilonggarkan, sementara anggaran sosial dan kesehatan dipangkas drastis. Badan bantuan pembangunan USAID dan lembaga lainnya pun ikut dibekukan.

Lebih mengkhawatirkan lagi, muncul dugaan bahwa para loyalis Trump menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk memata-matai komunikasi internal pejabat pemerintah. Tujuannya disinyalir untuk menyaring dan memecat pegawai yang dianggap kritis terhadap Trump, sebuah praktik yang oleh sebagian pengamat disebut sebagai “pembersihan politik” dalam tubuh aparatur negara.

Dengan serangkaian tindakan kontroversial ini, pertanyaan besar muncul: mampukah fondasi demokrasi Amerika Serikat bertahan dari tekanan yang begitu besar dalam tiga bulan pertama kepemimpinan Donald Trump jilid II ini? Dunia kini menanti dengan cemas perkembangan selanjutnya. (Munzir)

TRENDING

Exit mobile version