NASIONAL
Dua Sri Bikin Mumet: Sritex Pailit dan Kebijakan PPN yang Membebani

AKTUALITAS.ID – Kabar pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, pada 19 Desember 2024, menjadi peringatan keras bagi industri padat karya di Indonesia.
Mahkamah Agung (MA) telah menolak kasasi yang diajukan oleh perusahaan ini, menandai titik nadir bagi sebuah perusahaan yang telah berdiri lebih dari lima dekade dan mempekerjakan sekitar 40.000 orang.
Fenomena ini tak hanya tentang Sritex yang jatuh, namun juga mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh banyak perusahaan tekstil dan industri padat karya lainnya di tanah air. Persaingan produk impor murah dan beban utang yang tinggi semakin menekan sektor ini. Ketidakpastian ini berisiko menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang dapat memperburuk tingkat pengangguran yang sudah tinggi, ucap Alumni Universitas Mercu Buana, Aznil Tan dalam siaran persnya, Selasa (24/12/2024).
Meski begitu, pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh empat menteri utama, yaitu Menteri Perindustrian, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Keuangan, dan Menteri Perdagangan, telah berupaya meredakan kekhawatiran dengan memastikan tidak ada PHK dan memberikan komitmen untuk tetap membayar gaji karyawan yang dirumahkan. Namun, langkah-langkah ini dianggap normatif dan tidak menyentuh akar masalah.
Buruh Sritex: Terjebak dalam Dilem
Bagi 40.000 buruh Sritex, situasi ini sangat memberatkan. Mereka terjebak dalam dilema yang disebabkan oleh dua “Sri”: Sritex yang gagal mengelola keuangan dan Sri Mulyani yang tetap menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, mulai Januari 2025. Kebijakan ini diperkirakan akan semakin membebani daya beli masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, tambahnya.
Meski kebijakan pajak bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, keputusan menaikkan PPN justru berisiko memperburuk kondisi ekonomi yang sudah rapuh. Kenaikan tarif PPN diperkirakan akan meningkatkan pengeluaran rumah tangga, dengan dampak yang lebih besar bagi kalangan miskin dan kelas menengah ke bawah. Di sektor usaha, UMKM akan kesulitan menyesuaikan margin keuntungan mereka dengan kenaikan harga barang dan jasa akibat kenaikan PPN.
Di tengah dilema yang rumit ini, pemerintah menghadapi tantangan besar untuk menyelamatkan industri padat karya tanpa memperburuk kondisi fiskal negara. Kebijakan yang kurang progresif, seperti kebijakan pajak yang membebani dan langkah pemerintah yang terkesan parsial, semakin menambah tekanan pada sektor yang sudah tertekan.
Sritex dan para buruhnya berharap adanya langkah-langkah yang lebih efektif dan terpadu dari pemerintah. Pemerintah harus bertindak tegas untuk melindungi sektor padat karya yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, dengan cara menciptakan kebijakan proteksionisme yang melindungi produk lokal, memberikan dukungan finansial untuk restrukturisasi utang, dan menciptakan insentif yang lebih adil bagi dunia usaha.
Tanpa tindakan progresif, industri padat karya Indonesia akan semakin terpuruk, meninggalkan banyak buruh tanpa pekerjaan dan keluarga yang kehilangan sumber penghidupan. “Dua Sri” ini harus berhenti membuat “mumet”, dan harus ada kebijakan yang berpihak pada rakyat,tutupnya. (Enal Kaisar)
-
POLITIK17/06/2025 22:30 WIB
DKPP Pecat Komisioner KPU Madiun, Terbukti Rangkap Jabatan Pengurus Partai
-
JABODETABEK18/06/2025 09:45 WIB
Proposal Perdamaian Ditolak Meski Utang Sudah Dilunasi, Diduga Ada Konflik Kepentingan Kreditor Afiliasi
-
FOTO17/06/2025 22:15 WIB
FOTO: Diskusi KWP Bersama DPR Bahas RUU Penyiaran
-
DUNIA18/06/2025 10:15 WIB
Langit Teheran Membara: Israel Kembali Gempur Iran dengan 60 Pesawat Tempur
-
RAGAM18/06/2025 01:00 WIB
Arbani Yasiz dan Raissa Ramadhani Resmi Bertunangan, Momen Manis Diunggah di Instagram
-
JABODETABEK18/06/2025 05:30 WIB
Waspada Cuaca Ekstrem! Petir dan Hujan Guyur Jabodetabek Rabu 18 Juni 2025
-
OTOTEK18/06/2025 00:01 WIB
Chengdu Luncurkan Uji Coba Besar-Besaran Robot Pintar di Dunia Nyata
-
EKBIS17/06/2025 23:30 WIB
Gaji ke-13 ASN Sudah Tersalurkan Rp32,8 Triliun