OASE
Mahar yang Diharamkan Diberikan Kepada Calon Isteri Menurut Syariat Islam
AKTUALITAS.ID – Pernikahan dalam Islam adalah ikatan suci antara dua individu yang didasarkan pada kasih sayang, rasa hormat, dan komitmen. Salah satu elemen penting dalam pernikahan adalah mahar, yaitu pemberian atau harta yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada calon istri sebagai bagian dari perjanjian pernikahan.
Namun, tidak semua bentuk mahar diperbolehkan, karena ada beberapa jenis mahar yang dilarang dalam Islam, karena tidak sesuai dengan prinsip yang diajarkan dalam agama.
Penting bagi pasangan yang akan menikah untuk memahami jenis-jenis mahar yang sesuai dengan syariat Islam. Dengan memahami larangan-larangan ini, diharapkan kamu dan pasangan bisa memulai kehidupan pernikahan mereka dengan cara yang diridhai oleh Allah dan terhindar dari perbuatan yang bisa membawa dampak negatif dalam kehidupan rumah tangga.
Allah SWT berfirman dalam surah An Nisa ayat 4,
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ … – 4
Artinya: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.”
Menukil dari kitab Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah oleh Syaikh Abdurrahman Al Juzairi terjemahan Faisal Saleh, mahar berasal dari kata al-mahr. Sebutan lain dari mahar adalah shadaaq yang artinya penyerahan harta yang mencerminkan keinginan untuk melaksanakan akad nikah.
Mahar yang dilarang dalam Islam biasanya berkaitan dengan hal-hal yang mengandung ketidakpastian, ketidakadilan, atau melibatkan hal yang haram. Misalnya, mahar yang tidak jelas nilainya atau terlalu berlebihan hingga membebani pihak suami, juga mahar yang melibatkan barang-barang yang haram seperti minuman keras atau benda-benda yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam juga tidak diperbolehkan.
Berkaitan dengan itu, ada sejumlah mahar yang dilarang dalam Islam. Diantaranya adalah;
1. Mahar yang Haram
Menurut buku Fiqh Munakahat tulisan Abdul Rahman Ghazaly, apabila mahar pernikahan yang diberikan berupa barang haram seperti minuman keras atau khamar, babi, darah, dan semacamnya maka tidak sah hukumnya.
Imam Syafi’i menerangkan bahwa jika mahar tersebut barang haram padahal istrinya belum menerima maka ia berhak mendapat mahar yang tidak haram. Sebab, salah satu syarat mahar yang diberikan kepada mempelai wanita adalah suci.
2. Mahar yang Tidak Berharga
Memiliki harga dan terdapat manfaat termasuk syarat dari mahar pernikahan. Dalam kaitannya, mahar yang tidak berharga dilarang dalam Islam.
Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim dalam Fiqh as Sunnah li an-Nisa’ yang diterjemahkan Firdaus menjelaskan bahwa mahar bisa berupa apa saja yang memiliki nilai maknawi selama istri ridha akan hal tersebut.
Dalam sebuah hadits shahih dari Abu Dawud dan An Nasa’i, Nabi Muhammad SAW pernah menikahkan seorang lelaki dengan hafalan Al-Qur’an yang dimilikinya sebagai mahar. Selain itu, sahabatnya Abu Thalhah RA dan Ummu Sulaim RA menikah dengan mahar berupa keislaman Abu Thalhah.
3. Mahar yang Memberatkan
Ketentuan jumlah mahar tidak dijelaskan secara pasti dalam Islam. Tetapi, mahar hendaknya tidak membebani calon suami, apalagi memberatkan.
Mahar yang memberatkan dilarang dalam Islam. Jika suami dibebani dengan mahar seperti itu sampai tak sanggup menanggung, maka hal ini menjadi tercela.
Pernikahan yang maharnya tidak membebani mampu membawa keberkahan rumah tangga bagi pasangan. Dari Aisyah RA berkata, “Sesungguhnya pernikahan yang paling besar berkahnya adalah pernikahan yang paling ringan maharnya.” (HR Ahmad dan Baihaqi)
4. Mahar yang Berlebihan
Islam melarang mahar yang memberatkan, begitu pula dengan mahar yang berlebihan. Dijelaskan dalam Fiqh As-Sunnah oleh Sayyid Sabiq terjemahan Khairul Amru Harahap, syariat menganjurkan untuk tidak berlebihan dalam memberi mahar.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.” (HR Hakim)
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berpandangan bahwa berlebihan dalam menentukan mahar adalah makruh. Hal tersebut menunjukkan sedikitnya keberkahan mahar dan menyiratkan kesulitan dalam pernikahan tersebut.
5. Mahar yang Cacat
Menukil dari kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid oleh Ibnu Rusyd terjemahan Fuad Syaifudin Nur, jumhur ulama berpendapat bahwa calon suami yang memberi mahar cacat pernikahannya tetap sah. Tetapi, para ulama berbeda pendapat terkait apakah istri dapat meminta kembali harga mahar, menukar dengan yang sebanding atau dengan mahar mitsil.
Terkadang istri dapat meminta kembali dengan harganya dan terkadang dengan mahar mitsli yang artinya disesuaikan dengan yang dibayarkan pada sebayanya perempuan tersebut. Hal ini merujuk pada pendapat Imam Syafi’i. (Teguh Wndh)
-
EKBIS29/10/2025 10:30 WIBKurs Rupiah Hari Ini 29 Oktober 2025 Tertekan, Dolar AS Menguat Jelang FOMC
-
FOTO29/10/2025 09:25 WIBFOTO: Suasana Diskusi KPU Bahas Tantangan Digitalisasi Pemilu
-
FOTO29/10/2025 05:13 WIBFOTO: Aksi Peduli Biruni Foundation di Hari Sumpah Pemuda
-
NASIONAL29/10/2025 13:00 WIBProvinsi Dengan Pendaftar Terbanyak Akan Terima Kuota Haji Lebih Besar
-
POLITIK29/10/2025 12:00 WIBBawaslu Minta KPU dan Pemerintah Segera Atur Penggunaan AI di Pemilu
-
EKBIS29/10/2025 08:30 WIBUpdate Harga BBM Pertamina 29 Oktober 2025: Cek Daftar Lengkap Harga Terbaru di Seluruh Indonesia
-
EKBIS29/10/2025 09:30 WIBBursa Saham RI Dibuka Merah, IHSG Turun ke Level 8.072 pada 29 Oktober 2025
-
POLITIK29/10/2025 11:00 WIBKPU: Digitalisasi Pemilu Memerlukan Peningkatan Kapasitas SDM