AKTUALITAS.ID – Pekan lalu, pemberitaan sejumlah media massa diramaikan dengan wacana penempatan perwira TNI di kementerian. Upaya ini dilakukan untuk mengatasi masalah ratusan perwira dari tiga matra yaitu TNI AD, TNI AL, dan TNI AU yang nonjob. Artinya, jika kebijakan itu terjadi dilakukan, harus membuat ratusan perwira keluar dari barak dan mengabdi kepada negara di ranah sipil.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, persoalan 500-an perwira menengah (pamen) TNI dari tiga matra yang nonjob sedang diusahakan dicarikan jalan keluarnya. Menurut Hadi, solusi masalah itu adalah dengan melakukan penataan organisasi baru.
Hadi mencontohkan, jabatan Inspektorat Kostrad yang saat ini dijabat
Brigjen atau bintang satu akan dinaikkan menjadi bintang dua atau
berpangkat Mayjen. Otomatis bawahan Inspektorat Kostrad yang dulunya
berpangkat Kolonel bisa naik menjadi Brigjen.
Pun dengan status
Korem tipe B yang saat ini komandannya dijabat Kolonel, akan dinaikkan
menjadi tipe A dengan komandannya berpangkat Brigjen. Sehingga, jabatan
asisten Komandan Korem yang sebelumnya Letkol bisa diisi Kolonel.
Adapun, Korem tipe A saat ini membawahi wilayah terluar dan perbatasan
dengan negara tetangga Indonesia.
Hadi menuturkan, dengan simulasi
peningkatan organisasi TNI tersebut, setidaknya bisa menyerap 60
perwira tinggi (pati) baru berpangkat Brigjen dan Mayjen. Adapun kalau
ditotal keseluruhan, setidaknya ada 150 sampai 200 Kolonel bisa mengisi
jabatan baru dari sekarang yang berstatus nonjob.
“Jadi
dengan adanya peluang meningkatkan kelas, seperti Korem, Kolonel menjadi
bintang 1, meningkatkan kelas dari asisten Kostrad dari Kolonel menjadi
bintang 1 kemudian meningkatkan kelas dari Inspektorat Kostrad dari
bintang 1, bintang 2 maka secara otomatis akan diikuti oleh organisasi
atau satuan-satuan dibawahnya,” ujar Hadi seusai Rapat Pimpinan (Rapim)
TNI 2019 di Mabes TNI Cilangkap, Rabu (31/1).
Hadir dalam Rapim
itu, yaitu KSAD Jenderal Andika Perkasa, KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji,
KSAU Marsekal Yuyu Sutisna, dan seluruh Pangkotama TNI dari tiga matra.
Hadi
mengakui, dengan cara itu masih ada mayoritas Kolonel yang belum
memiliki jabatan, yang mayoritas berasal dari matra Angkatan Darat (AD).
Salah satu solusi lain yang dilakukan adalah pembentukan Komando
Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) dan Komando Khusus (Kopsus)
yang bisa menampung jabatan pati.
Pihaknya juga sedang merevisi
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 47 agar
pamen dan pati TNI bisa berdinas di lembaga negara. “Kita menginginkan
bahwa lembaga/kementerian yang bisa diduduki oleh TNI aktif itu eselon
satu eselon dua tentunya akan juga menyerap pada eselon eselon di
bawahnya sehingga Kolonel bisa masuk di sana,” kata mantan Irjen
Kemenhan tersebut.
Hadi menambahkan, agar pamen TNI bisa menduduki
jabatan di kementerian, tentu harus menunggu aturan. Dia pun berharap,
langkah-langkah itu akan bisa mengurangi masalah ratusan pamen yang
sekarang tidak memiliki jabatan.
“Tapi ini masih harus menunggu
revisi Undang-Undang 34 Tahun 2004 yang jelas untuk perubahan kelas itu
kita hanya mengeluarkan Perpres karena sudah ada Keppres-nya, paling
tidak sudah akan berkurang dari 500 yang disampaikan tadi bisa sampai
150 sampai 200 (Kolonel), mudah-mudahan,” kata Hadi.
Wacana ini kemudian mendapat sorotan. Wacana memasukkan perwira TNI “nganggur” atau nonjob
ke dalam kementerian harus diperhatikan dengan cermat. Selain disebut
akan mengabaikan agenda reformasi, wacana tersebut juga akan menimbulkan
masalah baru di tubuh kementerian yang di dalamnya juga harus ada
pembinaan karir aparatur sipil negara (ASN).
“Ini menunjukkan ada
yang perlu diperbaiki dalam tata kelola personel di tubuh TNI. Sampai
sekian ratus apa yang salah? Padahal secara kekuatan postur, justru
kekuatan TNI ini sebenarnya masih belum ideal,” ujar peneliti Institute
for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, melalui
sambungan telepon, Jumat (1/2)
Fahmi melanjutkan, hal tersebut
menunjukkan kebutuhan akan prajurit TNI masih besar. Ia melihat, dengan
adanya 500-an perwira TNI yang tidak memiliki jabatan, berarti dalam
konteks perencanaan postur pertahanan di tubuh TNI masih ada masalah.
Menurutnya,
prajurit-prajurit TNI dicetak untuk memenuhi kebutuhan pertahanan
negara, bukan untuk melakukan tugas-tugas lain di luar tugas pokoknya.
Selain itu, hal yang juga harus diingat adalah soal agenda reformasi,
yakni pembatasan penempatan TNI di luar domain mereka tersebut.
“Kalau
ini dilakukan, penyaluran-penyaluran ini dilakukan kembali, itu sama
saja dengan pemerintah sedang mencoba mengabaikan agenda reformasi,”
jelas dia.
Persoalan berikutnya, kata Fahmi, adalah soal pembinaan
karir di TNI maupun ASN. Pembinaan di keduanya sama-sama harus
berjalan. Fahmi menyebutkan, di kementerian lembaga terdapat ASN yang
sedang berlomba-lomba berprestasi untuk mendapatkan jabatan di
lembaganya itu. Di lingkungan ASN sendiri pun ia sebut bukan tanpa
masalah.
“Kalau ini dimasuki tiba-tiba oleh personel TNI, ini kan
juga menghambat pembinaan karir di lingkungan organisasi kementerian
lembaga yang dimasuki TNI. Bisa berpotensi seperti itu kalau tidak
cermat dalam penempatannya dan itu bisa jadi bom waktu di kemudian
hari,” terangnya.
Karena itu, menurutnya, solusi dari masalah
adanya ratusan perwira TNI yang tanpa jabatan bukanlah sekadar
disalurkan ke kementerian. Hal itu membuat seolah-olah mereka bisa
melakukan apa saja di luar domain mereka sebagai garda pertahanan
negara.
“Ini kan menunjukkan bahwa manjemen pembinaan personel di
TNI ada problem di situ. Karena saya beberapa waktu lalu sudah
mengingatkan terkait pengisian jabatan. Banyak perwira muda yang
kemudian menjadi, katakanlah the rising star, itu kan kita sudah ingatkan untuk kemungkinan adanya inflasi jenderal,” kata dia.
Sementara,
Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) Letjen TNI
(Purn) Kiki Syahnakri menilai, TNI perlu mengevaluasi diri secara tuntas
terkait persoalan banyaknya perwira yang berstatus tanpa jabatan. Tapi,
lembaga dan instansi lain juga dirasa perlu membantu TNI mengatasi
permasalahan tersebut.
“Menurut saya TNI harus evaluasi dulu secara tuntas ke dalam, kenapa persoalan itu bisa muncul seperti itu?” ujar Kiki, Jumat (1/2)
Kiki
menyebutkan, adanya ratusan perwira yang ‘menganggur’ bukan hanya
terjadi saat ini, tetapi juga pada masanya dulu. Ketika itu, timbul
sekitar 200-300 perwira yang tanpa jabatan setelah dihapuskannya
kekaryaan dan mereka dikembalikan ke TNI. Tapi, katanya, hal tersebut
dapat diselesaikan selama kurang lebih lima tahun.
“Sekarang
mungkin permasalahannya kenapa? Ini dulu yang harus dievaluasi. Jangan
sampai nanti ada kebijakan baru tapi timbul masalah baru karena di dalam
struktur TNI, piramidanya harus tetap terjaga jangan sampai gemuk di
atas,” jelasnya.
Kemudian, lanjut dia, DPR dan institusi
pemerintah yang lainnya juga jangan sampai membiarkan TNI kesulitan
sendiri mencari jalan keluar. Mereka ia sebut harus turut membantu
mencarikan jalan keluar dari persoalan ini. Menurut Kiki, tak ada
salahnya juga jika purnawirawan TNI turut diajak berdiskusi untuk
membahas hal tersebut.
“Karena tidak bisa hanya mengatakan ini mau
kembali lagi ke kekaryaan atau dwifungsi. Jadi harus sama-sama jalan
untuk memecahkannya,” tutur dia.
Kiki menjelaskan, ketika dulu
banyak anggota TNI yang ditarik dari kekaryaan, salah satu solusinya
adalah menambah jumlah jabatan staf ahli maupun asisten. Mereka yang
ditarik dari kekaryaan ditempatkan dalam wadah itu di struktur TNI.
“Jadi
tidak menganggur. Mereka bekerja sampai masa pensiunnya berakhir. Jadi
terselesaikan dalam jangka waktu paling lama lima tahunlah,” jelasnya.
Revisi UU TNI
Sementara,
Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha mengatakan, gagasan
tersebut menjadi momentum untuk merevisi secara keseluruhan UU TNI.
Pasalnya sejumlah lembaga sipil seperti Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB), Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), dan Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak diatur di dalam Pasal 47
UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, sehingga militer aktif diperbolehkan
menempat lembaga sipil tersebut.
Oleh karena itu jika nantinya
gagasan tersebut diseriusi, ia berharap revisi UU juga akan membahas
terkait kejelasan posisi militer aktif yang menempati beberapa lembaga
tersebut. “Agar lembaga-lembaga tersebut di atas punya dudukan hukum,”
kata Satya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (3/1).
Politikus
Partai Golkar tersebut menilai yang paling penting saat ini yaitu
membenahi dasar hukumnya. Menurutnya TNI harus konsisten terhadap
doktrin reformasi TNI. “Harus dicari rumusan agar peran TNI tetap
sebagaimana reformasi TNI,” ujarnya.
Sampai saat ini DPR mengaku
belum menerima ide dan gagasan Panglima terkait rencana tersebut. Namun
Ia meyakini jika revisi undang-undang tersebut merupakan inisiatif
pemerintah maka revisi UU TNI tersebut bisa selesai sebelum masa jabatan
anggota DPR periode berakhir.
“Bisa saja (selesai cepat) asalkan ini inisiatif pemerintah, kalau initiatif DPR saya tidak yakin,” ujarnya. [Republika.co.id].