Jika Perwira TNI Keluar Barak Lalu Masuk Kementerian


tni, apel,
Pasukan Gabungan TNI-Polri saat mengikuti Apel Kesiapan Natal, Tahun Baru 2019 serta menjelang Pemilu legislasi dan Presiden 2019 di lapangan silang Monas, Jakarta, Jumat (30/11/2018). Apel kesiapan ini diikuti 50.000 personel dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Polri.

AKTUALITAS.ID – Pekan lalu, pemberitaan sejumlah media massa diramaikan dengan wacana penempatan perwira TNI di kementerian. Upaya ini dilakukan untuk mengatasi masalah ratusan perwira dari tiga matra yaitu TNI AD, TNI AL, dan TNI AU yang nonjob. Artinya, jika kebijakan itu terjadi dilakukan, harus membuat ratusan perwira keluar dari barak dan mengabdi kepada negara di ranah sipil.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, persoalan 500-an perwira menengah (pamen) TNI dari tiga matra yang nonjob sedang diusahakan dicarikan jalan keluarnya. Menurut Hadi, solusi masalah itu adalah dengan melakukan penataan organisasi baru.

Hadi mencontohkan, jabatan Inspektorat Kostrad yang saat ini dijabat Brigjen atau bintang satu akan dinaikkan menjadi bintang dua atau berpangkat Mayjen. Otomatis bawahan Inspektorat Kostrad yang dulunya berpangkat Kolonel bisa naik menjadi Brigjen.

Pun dengan status Korem tipe B yang saat ini komandannya dijabat Kolonel, akan dinaikkan menjadi tipe A dengan komandannya berpangkat Brigjen. Sehingga, jabatan asisten Komandan Korem yang sebelumnya Letkol bisa diisi Kolonel. Adapun, Korem tipe A saat ini membawahi wilayah terluar dan perbatasan dengan negara tetangga Indonesia.

Hadi menuturkan, dengan simulasi peningkatan organisasi TNI tersebut, setidaknya bisa menyerap 60 perwira tinggi (pati) baru berpangkat Brigjen dan Mayjen. Adapun kalau ditotal keseluruhan, setidaknya ada 150 sampai 200 Kolonel bisa mengisi jabatan baru dari sekarang yang berstatus nonjob.

“Jadi dengan adanya peluang meningkatkan kelas, seperti Korem, Kolonel menjadi bintang 1, meningkatkan kelas dari asisten Kostrad dari Kolonel menjadi bintang 1 kemudian meningkatkan kelas dari Inspektorat Kostrad dari bintang 1, bintang 2 maka secara otomatis akan diikuti oleh organisasi atau satuan-satuan dibawahnya,” ujar Hadi seusai Rapat Pimpinan (Rapim) TNI 2019 di Mabes TNI Cilangkap, Rabu (31/1).

Hadir dalam Rapim itu, yaitu KSAD Jenderal Andika Perkasa, KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji, KSAU Marsekal Yuyu Sutisna, dan seluruh Pangkotama TNI dari tiga matra.

Hadi mengakui, dengan cara itu masih ada mayoritas Kolonel yang belum memiliki jabatan, yang mayoritas berasal dari matra Angkatan Darat (AD). Salah satu solusi lain yang dilakukan adalah pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) dan Komando Khusus (Kopsus)  yang bisa menampung jabatan pati.

Pihaknya juga sedang merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, khususnya Pasal 47 agar pamen dan pati TNI bisa berdinas di lembaga negara. “Kita menginginkan bahwa lembaga/kementerian yang bisa diduduki oleh TNI aktif itu eselon satu eselon dua tentunya akan juga menyerap pada eselon eselon di bawahnya sehingga Kolonel bisa masuk di sana,” kata mantan Irjen Kemenhan tersebut.

Hadi menambahkan, agar pamen TNI bisa menduduki jabatan di kementerian, tentu harus menunggu aturan. Dia pun berharap, langkah-langkah itu akan bisa mengurangi masalah ratusan pamen yang sekarang tidak memiliki jabatan.

“Tapi ini masih harus menunggu revisi Undang-Undang 34 Tahun 2004 yang jelas untuk perubahan kelas itu kita hanya mengeluarkan Perpres karena sudah ada Keppres-nya, paling tidak sudah akan berkurang dari 500 yang disampaikan tadi bisa sampai 150 sampai 200 (Kolonel), mudah-mudahan,” kata Hadi.

Wacana ini kemudian mendapat sorotan.  Wacana memasukkan perwira TNI “nganggur” atau nonjob ke dalam kementerian harus diperhatikan dengan cermat. Selain disebut akan mengabaikan agenda reformasi, wacana tersebut juga akan menimbulkan masalah baru di tubuh kementerian yang di dalamnya juga harus ada pembinaan karir aparatur sipil negara (ASN).

“Ini menunjukkan ada yang perlu diperbaiki dalam tata kelola personel di tubuh TNI. Sampai sekian ratus apa yang salah? Padahal secara kekuatan postur, justru kekuatan TNI ini sebenarnya masih belum ideal,” ujar peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, melalui sambungan telepon, Jumat (1/2)

Fahmi melanjutkan, hal tersebut menunjukkan kebutuhan akan prajurit TNI masih besar. Ia melihat, dengan adanya 500-an perwira TNI yang tidak memiliki jabatan, berarti dalam konteks perencanaan postur pertahanan di tubuh TNI masih ada masalah.

Menurutnya, prajurit-prajurit TNI dicetak untuk memenuhi kebutuhan pertahanan negara, bukan untuk melakukan tugas-tugas lain di luar tugas pokoknya. Selain itu, hal yang juga harus diingat adalah soal agenda reformasi, yakni pembatasan penempatan TNI di luar domain mereka tersebut.

“Kalau ini dilakukan, penyaluran-penyaluran ini dilakukan kembali, itu sama saja dengan pemerintah sedang mencoba mengabaikan agenda reformasi,” jelas dia.

Persoalan berikutnya, kata Fahmi, adalah soal pembinaan karir di TNI maupun ASN. Pembinaan di keduanya sama-sama harus berjalan. Fahmi menyebutkan, di kementerian lembaga terdapat ASN yang sedang berlomba-lomba berprestasi untuk mendapatkan jabatan di lembaganya itu. Di lingkungan ASN sendiri pun ia sebut bukan tanpa masalah.

“Kalau ini dimasuki tiba-tiba oleh personel TNI, ini kan juga menghambat pembinaan karir di lingkungan organisasi kementerian lembaga yang dimasuki TNI. Bisa berpotensi seperti itu kalau tidak cermat dalam penempatannya dan itu bisa jadi bom waktu di kemudian hari,” terangnya.

Karena itu, menurutnya, solusi dari masalah adanya ratusan perwira TNI yang tanpa jabatan bukanlah sekadar disalurkan ke kementerian. Hal itu membuat seolah-olah mereka bisa melakukan apa saja di luar domain mereka sebagai garda pertahanan negara.

“Ini kan menunjukkan bahwa manjemen pembinaan personel di TNI ada problem di situ. Karena saya beberapa waktu lalu sudah mengingatkan terkait pengisian jabatan. Banyak perwira muda yang kemudian menjadi, katakanlah the rising star, itu kan kita sudah ingatkan untuk kemungkinan adanya inflasi jenderal,” kata dia.

Sementara, Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri menilai, TNI perlu mengevaluasi diri secara tuntas terkait persoalan banyaknya perwira yang berstatus tanpa jabatan. Tapi, lembaga dan instansi lain juga dirasa perlu membantu TNI mengatasi permasalahan tersebut.

“Menurut saya TNI harus evaluasi dulu secara tuntas ke dalam, kenapa persoalan itu bisa muncul seperti itu?” ujar Kiki, Jumat (1/2)

Kiki menyebutkan, adanya ratusan perwira yang ‘menganggur’ bukan hanya terjadi saat ini, tetapi juga pada masanya dulu. Ketika itu, timbul sekitar 200-300 perwira yang tanpa jabatan setelah dihapuskannya kekaryaan dan mereka dikembalikan ke TNI. Tapi, katanya, hal tersebut dapat diselesaikan selama kurang lebih lima tahun.

“Sekarang mungkin permasalahannya kenapa? Ini dulu yang harus dievaluasi. Jangan sampai nanti ada kebijakan baru tapi timbul masalah baru karena di dalam struktur TNI, piramidanya harus tetap terjaga jangan sampai gemuk di atas,” jelasnya.

Kemudian, lanjut dia, DPR dan institusi pemerintah yang lainnya juga jangan sampai membiarkan TNI kesulitan sendiri mencari jalan keluar. Mereka ia sebut harus turut membantu mencarikan jalan keluar dari persoalan ini. Menurut Kiki, tak ada salahnya juga jika purnawirawan TNI turut diajak berdiskusi untuk membahas hal tersebut.

“Karena tidak bisa hanya mengatakan ini mau kembali lagi ke kekaryaan atau dwifungsi. Jadi harus sama-sama jalan untuk memecahkannya,” tutur dia.

Kiki menjelaskan, ketika dulu banyak anggota TNI yang ditarik dari kekaryaan, salah satu solusinya adalah menambah jumlah jabatan staf ahli maupun asisten. Mereka yang ditarik dari kekaryaan ditempatkan dalam wadah itu di struktur TNI.

“Jadi tidak menganggur. Mereka bekerja sampai masa pensiunnya berakhir. Jadi terselesaikan dalam jangka waktu paling lama lima tahunlah,” jelasnya.

Revisi UU TNI

Sementara, Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha mengatakan,  gagasan tersebut menjadi momentum untuk merevisi secara keseluruhan UU TNI. Pasalnya sejumlah lembaga sipil seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP), dan Badan Nasional Penanggulangan  Terorisme (BNPT) tidak diatur di dalam Pasal 47 UU TNI Nomor 34 Tahun 2004, sehingga militer aktif diperbolehkan menempat lembaga sipil tersebut.

Oleh karena itu jika nantinya gagasan tersebut diseriusi, ia berharap revisi UU juga akan membahas terkait kejelasan posisi militer aktif yang menempati beberapa lembaga tersebut. “Agar lembaga-lembaga tersebut di atas punya dudukan hukum,” kata Satya saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (3/1).

Politikus Partai Golkar tersebut menilai yang paling penting saat ini yaitu membenahi dasar hukumnya. Menurutnya TNI harus konsisten terhadap doktrin reformasi TNI. “Harus dicari rumusan agar peran TNI tetap sebagaimana reformasi TNI,” ujarnya.

Sampai saat ini DPR mengaku belum menerima ide dan gagasan Panglima terkait rencana tersebut. Namun Ia meyakini jika revisi undang-undang tersebut merupakan inisiatif pemerintah maka revisi UU TNI tersebut bisa selesai sebelum masa jabatan anggota DPR periode berakhir.

“Bisa saja (selesai cepat) asalkan ini inisiatif pemerintah, kalau initiatif DPR saya tidak yakin,” ujarnya. [Republika.co.id].

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>