Hukuman Mati Koruptor, KPK: Bukan Solusi Kurangi Korupsi


Ilustrasi hukuman-mati

AKTUALITAS.ID – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Laode Muhammad Syarif berpendapat hukuman mati terhadap koruptor tak memiliki relevansi dengan pemberantasan korupsi.

Setidaknya, berdasarkan data negara-negara yang mengatur hukuman mati justru memperoleh indeks persepsi korupsi (IPK) yang rendah. Sebaliknya, negara-negara dengan IPK tinggi merupakan negara yang tidak memiliki hukuman mati.

“Secara kalkulasi tidak ada hubungannya IPK suatu negara dengan lahirnya pidana mati,” kata Laode dalam diskusi ‘Menggagas Perubahan UU Tipikor: Hasil Kajian dan Draf Usulan’ di kantornya, Jl Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis, (19/12).

Laode menjelaskan dalam membentuk suatu hukum diperlukan studi yang mendalam. Dalam hal hukuman mati terhadap koruptor misalnya, Laode menyatakan perlu dikaji dari sisi IPK.

Menurutnya, negara-negara yang meraih skor IPK tinggi atau yang dipersepsikan paling bersih dari korupsi, yakni Denmark, Norwegia, Finlandia, Selandia Baru, sampai Singapura tidak memiliki aturan mengenai hukuman mati. Sementara negara yang masih mengatur hukuman mati seperti Indonesia dan Tiongkok justru skor IPK-nya rendah.

“Siapa negara yang paling tinggi IPK-nya, sekarang Denmark, Norwegia Finlandia, New Zealand, Singapura. Apakah hukuman korupsinya di negara-negara clear itu ada tidak pidana mati, tidak ada. Siapa-siapa yang masih ada pidana matinya untuk koruptor, Tiongkok (skor) IPK 40, kita 38,” ujarnya.

Sejumlah kalangan menilai hukuman mati seharusnya diterapkan terhadap koruptor agar memberikan efek jera. Laode menekankan, dalam persoalan narkoba, hukuman mati tidak membuat persoalan narkoba di Tanah Air bisa terselesaikan. Hal yang sama terjadi di sejumlah negara yang menerapkan hukuman mati terhadap pembunuh berencana.

“Itu bagian dari studi HAM. Yang paling banyak tingkat kejahatannya di negara yang menerapkan hukuman mati,” ujarnya.

Lebih jauh, Laode mengatakan penerapan hukuman mati terhadap koruptor justru akan menyulitkan Indonesia bekerja sama dengan negara lain dalam memberantas korupsi. Negara-negara yang telah menghapus dan bahkan menentang hukuman tidak akan bersedia membantu Indonesia jika terpidana korupsi dihukum nanti.

“Korupsi itu kejahatan antarnegara, itu yang paling banyak. Akhir akhir ini susah sekali korupsi besar yang hanya di Indonesia, kebanyakan lintas negara. Terbayang seandainya kasus Garuda itu misalnya, Inggris dengan Indonesia. Di Inggris pidana mati sudah dihapus. Kalau mantan Dirut Garuda bisa dipidana mati, kemungkinan banyak yang enggak memberikan bantuan data,” katanya.

Atas dasar tersebut, dalam draf rancangan revisi Undang-Undang Tipikor yang disusun KPK bersama sejumlah pakar pidana tidak mencantumkan hukuman mati.

“Nanti akan menyulitkan kerja sama antarnegara kalau pidana mati itu ada di dalam UU Tipikor,” kata Laode.

Dalam kemsempatan sama, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Parahyangan ,Agustinus Pohan yang juga salah seorang tim perumus draf revisi UU Tipikor menegaskan, hukuman mati merupakan hal menakutkan dari segi pemidanaan. Hal ini lantaran pidana mati tidak dapat diubah jika terjadi kekeliruan saat menjatuhkan vonis.

“Amerika Serikat pernah menghukum mati 23 orang. Belakangan terbukti itu bermasalah,” ujarnya.

Agustinus Pohan menekankan pidana mati mengajari masyarakat untuk main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan. Agustinus Pohan meyakini pemberantasan korupsi akan lebih efektif dengan semakin banyaknya koruptor yang dihukum meski dengan pidana yang tidak berat, ketimbang menjatuhkan hukuman mati.

“Ada seribu koruptor dan satu dipidana mati, tapi ada seribu koruptor dengan 500 dipidana, sekalipun tidak ada pidana mati, menurut saya itu jauh lebih efektif,” kata dia.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>