Soal Kematian Anak-anak, Militer Myanmar Lepas Tanggung Jawab


Juru Bicara junta militer Myanmar Mayor Jenderal Zaw Min Tun membantah bertanggung jawab atas kematian anak-anak sejak kudeta berlangsung.

Pihaknya justru menyalahkan para demonstran.

“Di beberapa tempat mereka memprovokasi anak-anak untuk ikut dalam kerusuhan kekerasan. Karena itu mereka bisa terkena pukulan ketika aparat keamanan menindak massa,” katanya ketika ditanya CNN soal tiga remaja yang tewas.

“Tidak ada alasan kami akan menembak anak-anak, ini hanya teroris yang mencoba membuat kami terlihat buruk,” ucap Zaw Min Tun.

Selama ini junta militer memang menyebut para demonstran anti kudeta sebagai teroris.

Menurut Zaw, tidak mungkin seorang anak ditembak di dalam rumah mereka. Penyelidikan akan dilakukan jika itu memang terjadi.

Berdasarkan laporan UN Children, 46 anak terbunuh sejak kudeta. CNN telah mendokumentasikan kejadian anak-anak ditembak di rumah mereka atau saat bermain di luar.

Ayah salah satu korban yang ditembak pasukan keamanan mengatakan, Htoo Myat Win ditembak ketika peluru menghantam jendela kaca rumahnya di Shwebo pada 27 Maret.

“Saya menghindari peluru itu, tapi anak saya mendekati jendela dan tertembak. Saya tidak mengerti mengapa mereka harus menembak kami ketika kami berada di dalam rumah kami,” ujarnya.

Lebih lanjut ayah Htoo Myat Win mengatakan bahwa pasukan keamanan menembaki pengunjuk rasa, dan banyak di antara mereka yang lari.

“Kami menyembunyikan beberapa dari mereka karena kami khawatir mereka akan ditangkap. Mereka (tentara) pasti telah menempatkan diri di lingkungan ini,” kata dia.

Video yang beredar luas di media sosial menunjukkan ayah Htoo Myat Win berteriak sembari menangis di belakang taksi saat dia bergegas membawa tubuh anaknya yang sudah tak bernyawa untuk meminta bantuan.

Ia lalu dipaksa pergi ke rumah sakit militer, ayah Htoo Myat Win menyebut dokter di RS militer melakukan otopsi dan menyuruhnya menandatangani dokumen yang menyatakan tidak ada peluru.

“Saya bertanya kepada mereka bahwa anak saya meninggal dengan luka tembak, mengapa Anda ingin mengatakan itu bukan karena peluru?” katanya.

Pasukan junta militer juga dilaporkan menggali mayat seorang pengunjuk rasa muda dan melakukan otopsi untuk memastikan peluru yang menewaskannya bukan berasal dari senjata polisi.

Dalam insiden lain, sebuah rumah sakit militer mengklaim, korban anak-anak lainnya Kyaw Min Latt(17) meninggal setelah jatuh dari sepeda motornya di kota Dawei.

Namun rekaman CCTV menunjukkan seorang tentara berdiri di belakang truk menembak remaja itu saat dia berkuda dengan dua orang lainnya, yang berhasil melarikan diri.

“Dokter memberi tahu kami bahwa anak saya menderita luka-luka karena terjatuh dari sepeda motor, kami tidak bisa membalas apa-apa kecuali terus mengatakan ya untuk semuanya,” kata ibunya, Daw Mon Mon Oo.

Dia mengatakan hasil rontgen tubuh putranya yang dilakukan di rumah sakit kedua dibawa pergi oleh petugas dari rumah sakit yang dikelola militer.

Sertifikat kematiannya, dilihat oleh CNN, menyatakan Kyaw Min Latt meninggal pada 30 Maret karena “cedera otak utama akibat jatuh dari sepeda (sepeda motor).”

Ketika keluarganya dapat membawa pulang jenazah Kyaw Min Latt, ibunya berkata “tidak ada cedera akibat jatuhnya sepeda motor tetapi hanya bekas peluru masuk dan keluar, dan memar di mata kanannya.”

Ditekan tentang tuduhan dari keluarga tentara yang menembaki rumah dan militer yang berusaha menutupi penyebab kematian, juru bicara Zaw Min Tun meminta CNN menunjukkan kepadanya bukti.

“Jika hal seperti itu terjadi, kami akan melakukan penyelidikan. Mungkin ada beberapa video yang terlihat mencurigakan tetapi untuk pasukan kami, kami tidak berniat untuk menembak orang yang tidak bersalah,” ujarnya.

Tidak jelas apakah militer telah melakukan penyelidikan internal terhadap klaim berulang pembunuhan di luar hukum.

Terbukti dari wawancara yang dilakukan CNN, bahwa para pemimpin militer Myanmar ingin dunia percaya bahwa mereka bertindak sejalan dengan undang-undang dan konstitusi negara. Mereka juga mengklaim berkomitmen untuk membangun negara demokratis yang multipartai.

Luka di kepala dan leher menunjukkan bahwa pasukan memang sengaja menembak untuk membunuh.

Namun realita di lapangan membantah klaim itu. Tentara dan polisi menembak mati pengunjuk rasa, pengamat dan anak-anak.

Menurut catatan kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) setidaknya 600 warga sipil dibunuh pasukan keamanan.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>