Taliban Tak Ingin Memonopoli Kekuasaan


Delegasi Taliban Afghanistan tiba untuk penandatanganan kesepakatan dengan pejabat AS di Doha, Qatar Pada 29 Februari 2020, Foto: AP

Taliban mengatakan pihaknya tidak ingin memonopoli kekuasaan tapi menegaskan tidak akan ada perdamaian di Afghanistan sampai ada pemerintahan baru yang dinegosisasikan di Kabul dan Presiden Ashraf Gani lengser.

Dalam sebuah wawancara dengan The Associated Press, juru bicara Taliban, Suhail Shaheen, yang juga anggota tim negosiasi, menetapkan sikap kelompoknya tentang apa yang harus terjadi selanjutnya di Afghanistan.

Dalam beberapa pekan terakhir, Taliban dengan cepat merebut sejumlah distrik, merebut perlintasan perbatasan strategis dan mengancam sejumlah ibu kota provinsi, saat tentara Amerika Serikat dan NATO segera meninggalkan Afghanistan.

Pekan ini, perwira tinggi militer AS, Jenderal Mark Milley, mengatakan pada konferensi pers Pentagon, Taliban memiliki “momentum strategis” dan dia tidak mengesampingkan perebutan wilayah oleh Taliban sepenuhnya. Namun menurutnya hal itu tidak bisa dihindari.
Kenangan terakhir kali Taliban berkuasa sekitar 20 tahun lalu, ketika kelompok itu melarang pendidikan untuk anak perempuan dan melarang perempuan bekerja, memicu ketakutan rakyat Afghanistan mereka akan kembali berkuasa.

Warga Afganistan yang mampu membayar mengajukan ribuan visa untuk meninggalkan Afganistan, karena khawatir akan terjadi kekacauan.

Penarikan pasukan AS-NATO telah rampung 95 persen dan akan selesai pada 31 Agustus.
Shaheen mengatakan Taliban akan meletakkan senjata ketika pemerintah yang dinegosiasikan yang dapat diterima semua pihak dalam konflik terbentuk dan Ghani lengser.

“Saya ingin memperjelas bahwa kami tidak percaya pada monopoli kekuasaan karena pemerintah mana pun yang (berusaha) untuk memonopoli kekuasaan di Afghanistan di masa lalu, bukanlah pemerintah yang berhasil,” jelas Shaheen, yang tampaknya juga mencakup pemerintahan lima tahun Taliban.
“Jadi kami tidak ingin mengulangi formula yang sama,” lanjutnya, dikutip dari Al Jazeera, Kamis (28/7).

Shaheen menyebut Ghani sebagai penghasut perang dan menuduhnya memanfaatkan pidatonya pada perayaan Idul Adha untuk menjanjikan serangan terhadap Taliban.
Shaheen menolak hak Ghani untuk memerintah, kembali menuduh kecurangan pemilu 2019 yang memenangkan Ghani.

Setelah pemungutan suara itu, Ghani dan saingannya Abdullah Abdullah mendeklarasikan diri sebagai presiden.
Setelah kesepakatan kompromi, Abdullah saat ini menjadi orang nomor dua di pemerintahan dan memimpin dewan rekonsiliasi. Ghani kerap mengatakan dia akan tetap menjabat sampai pemilu baru yang akan menentukan pemerintahan berikutnya.

Para pengkritiknya – termasuk yang di luar Taliban – menuduhnya hanya berusaha mempertahankan kekuasaan, menyebabkan perpecahan di antara para pendukung pemerintah.

Akhir pekan lalu, Abdullah memimpin delegasi tingkat tinggi ke ibukota Qatar, Doha, untuk melakukan pembicaraan dengan para pemimpin Taliban. Perundingan itu berakhir dengan janji-janji pembicaraan lebih lanjut, serta perhatian yang lebih besar pada perlindungan warga sipil dan infrastruktur.

Shaheen menyebut pembicaraan itu awal yang baik. Namun dia mengatakan tuntutan gencatan senjata yang disampaikan berulang kali oleh pemerintah sementara Ghani tetap berkuasa sama saja dengan menuntut penyerahan diri Taliban.
“Mereka tidak ingin rekonsiliasi tetapi mereka ingin penyerahan diri,” katanya.

Shaheen mengatakan, sebelum gencatan senjata apa pun, harus ada kesepakatan tentang pemerintahan baru “yang dapat diterima oleh kami dan warga Afghanistan lainnya”.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>