Surat Terbuka Untuk Presiden Jokowi


AKTUALITAS.ID – Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang Saya mendapat kesan bahwa Menkopolhukam Mahfud Md dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil belum memiliki pengenalan yang cukup memadai tentang keberadaan Al-Zaytun (Diksi Al-Zaytun yang saya maksudkan mencakup pribadi Syaykh AS Panji Gumilang dan institusi Ma’had Al-Zaytun; sebab keduanya adalah satu kesatuan: Syaykh Panji Gumilang adalah Personifikasi Ma’had Al-Zaytun).

Kesan itu saya dapatkan setelah mencermati Konfrensi Pers Menkopolhukam bersama Gubernur Jawa Barat (Sabtu, 24 Juni 2023) yang terkesan telah kembali (mengulangi kesalahan) terlebih dahulu mem-framing Al-Zaytun bersalah dalam tiga aspek (hukum, administrasi dan sosial) dan akan mengambil tindakan yang sesuai dengan harapan (tekanan) masyarakat. Sehubungan dengan itu, hati saya tergerak untuk menulis surat kepada Presiden Jokowi yang saya yakini memiliki visi dan misi sesuai amanat Pembukaan UUD 1945, untuk tidak gegabah mengambil kebijakan tentang Al-Zaytun. Surat itu juga saya tembuskan kepada Menkopolhukam, Menteri Agama, Gubernur Jawa Barat dan Bupati Indramayu. Dalam surat kepada Presiden Jokowi yang telah saya sampaikan Senin 26 Juni 2023 itu, saya jelaskan bahwa: Saya Ch. Robin Simanullang, seorang jurnalis yang secara intensif meliput dan menulis tentang Al-Zaytun selama hampir 20 tahun, terutama sejak Februari 2004 sampai saat ini.

Sudah menulis sekitar 500-an berita dan artikel tentang Al-Zaytun di Majalah Tokoh Indonesia dan Berita Indonesia; dan sudah menulis dua buku tentang Al-Zaytun yakni Al-Zaytun Sumber Inspirasi Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara (2015) dan Life Begins at Seventy (2022) yang juga saya lampirkan dalam surat tersebut. Saya menulis tentang Al-Zaytun sesuai dengan apa yang saya lihat, dengar, rasakan dan alami dengan fokus pada pengejawantahan nilai-nilai dasar Pancasila, khususnya masalah kemandirian bangsa, peradaban, kemanusiaan, toleransi dan perdamaian; sebagaimana juga yang menjadi motto utama Al-Zaytun yakni Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian. Motto ini adalah habitat Al-Zaytun; bukan retorika, apalagi kamuflase.

Prinsip Toleransi dan Perdamaian yang dihabitualisasikan di atas landasan ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Prinsip dan ideologi itulah menjadi nilai pengikat independensi dan interdependensi yang saya junjung, baik dalam profesi jurnalis maupun persahabatan dengan Keluarga Besar Al-Zaytun.

Dalam hal ini, saya sangat go home di Al-Zaytun yang Rahmatan Lil’Alamin; sebagai sahabat dekat yang bukan seiman. Suatu wujud toleransi dengan keteguhan iman sesuai dogma atau akidah agama masing-masing. Dan, itulah wujud toleransi Al-Zaytun yang saya alami empiris.

Maka setiap ada sangkaan, tuduhan, anggapan dan persepsi yang mem-framing Al-Zaytun seolah Islam garis keras, sarang teroris, pusat NII KW9, anti-Pancasila, merongrong NKRI; bahkan mengajarkan hal-hal yang tidak senonoh, perjinahan dihalalkan dengan membayar sejumlah uang dan aliran sesat; saya sama sekali tidak pernah melihat, mengetahui, merasakan dan mengalami hal-hal itu di Al-Zaytun. Sangat jauh panggang dari api.

(Terkait moderasi Islam di Al-Zaytun yang di-framing aliran sesat, karena hal itu menyangkut akidah, saya membatasi diri). Namun adalah kenyataan bahwa issu seperti itu telah berlangsung sejak tahun 2000, terutama setiap menjelang penerimaan santri baru. Dan, yang saya rasakan (persepsi), bahwa kehadiran Negara dalam issu tersebut adalah suam-suam kuku. Walaupun sejumlah pejabat negara sudah berkunjung dan membuat pernyataan ‘membantah’ beberapa tuduhan miring itu, tetapi di sisi lain, Negara masih menunjukkan sikap ambivalen.

Maka, saya sebagai WNI yang telah menjadi sahabat karib (Batak: Aleale Satia) tidak seiman Al-Zaytun, sangat bangga dengan Al-Zaytun sebagai sebuah model lembaga pendidikan Islam Indonesia millenium ketiga; dan oleh karena itu sangat mengharapkan kehadiran Negara untuk menjadi solusi dalam permasalahan dan kontroversi yang dihadapinya. Saya sangat optimis, jika Negara hadir akan dengan cermat dan bijak menyelesaikannya dengan acuan dasar Pancasila.

Namun, dalam kasus terakhir, saya menjadi kurang optimis bahwa kehadiran Negara akan menjadi solusi setelah mendengar Konfrensi Pers Menkopolhukam bersama Gubernur Jawa Barat (Sabtu, 24 Juni 2023) yang terkesan telah kembali (mengulangi kesalahan terdahulu) terlebih dahulu mem-framing Al-Zaytun bersalah dalam tiga aspek (hukum, administrasi dan sosial) dan akan mengambil tindakan yang sesuai dengan harapan (tekanan) masyarakat. Saya bertanya: Beginikah kehadiran Negara? Mengapa ukuran kehadiran negara adalah harapan (keinginan, tekanan) masyarakat? Bukankah Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berazas Pancasila? Oleh karena itulah saya memberanikan diri menulis surat kepada Presideni, dengan harapan bahwa: Bapak Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan akan taat azas menegakkan ideologi, konstitusi dan UU NKRI. Bapak Presiden pada awal pemerintahan telah menegaskan bahwa hanya Presiden yang memiliki Visi dan Missi, sementara semua Pembantu Presiden (Wakil Presiden dan Menteri) harus menjalankan Visi dan Misi Presiden tersebut. Dengan demikian kiranya Bapak Presiden jangan lengah membiarkan para Pembantu Presiden, di antaranya Menkopolhukam, juga aparat pemerintahan sampai tingkat terbawah, bertindak gegabah sesuai dengan visi dan kepentingan diri dan kelompoknya sendiri dalam menangani masalah Al-Zaytun. Jangan sampai Pembantu Presiden mengambil keputusan dengan pengenalan yang sangat terbatas (bergantung pandangan luar) tentang Al-Zaytun. Juga hanya berfokus pada tuduhan masa lalu, tanpa mencermati perkembangan keberadaan Al-Zaytun dalam 20 tahun terakhir ini. Selesaikan masalah Al-Zaytun dengan tatanan (ukuran) Pancasila, UUD 1945 dan UU, atau PP, Perda yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945; serta pengenalan yang cerdas, cermat dan memadai tentang Al-Zaytun.

Untuk pengenalan yang lebih cermat dan terukur tentang Al-Zaytun, kiranya Bapak Presiden selaku pengguna tunggal Badan Intelijen Negara (BIN) sangat bijaksana bila secara khusus menugaskan BIN dan badan intelijen dan lembaga lainnya (BPPT) untuk meneliti Al-Zaytun secara komprehensif.

Jangan sampai Bapak Presiden yang setia Pancasila, melalui Pembantu Presiden mengambil tindakan gegabah dan yang justru menodai dan anti-Pancasila. Jika itu terjadi, sejarah akan mencatat sikap Presiden yang ambivalen terhadap Pancasila hanya karena tekanan keinginan dan persepsi massa tertentu, apalagi bila massa itu berkecenderungan intoleran dan garis keras.

Apakah Bapak Presiden tidak menghendaki munculnya lembaga pendidikan Islam yang modern dan toleran serta mandiri dan taat Pancasila di bumi NKRI? Oleh karena itu, Bapak Presiden yang terkenal merakyat dengan habitat bulusukan, sudilah kiranya blusukan ke Al-Zaytun, baik secara diam-diam maupun secara terbuka sebelum mengambil kebijakan.

Demikian surat curahan hati saya sampaikan kepada Presiden, dengan harapan kiranya berguna sebagai bahan inspirasi bagi Bapak Presiden dalam memimpin Negeri Pancasila ini; dan juga berharap kiranya Bapak Presiden Jokowi berkenan mengabulkan pesan surat tersebut.
[DRS.CH.Robin Simanullang Pemred Tokoh Indonesia]

Ditulis ulang oleh Rukmana

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>