Kesaksian Seorang Jurnalis Kristen Terhadap Pesantren Al – Zaytun


AKTUALITAS.ID – Menyikapi viralnya informasi terkait Pondok Pesantren Al – Zaytun, Indramayu, Jawa Barat redaksi AKTUALITAS.ID menghubungi Drs. CH. Robin Simanullang yang merupakan pimpinan redaksi Majalah Tokoh Indonesia via whatssapnya Senin 15/05.

Redaksi mencoba mengkonfirmasi tentang kehadiran Robin Simanulang di Masjid Rahmatan Lil’alamin berada bersama para jama’ah yang sedang shalat Id Al – Fitri 1444 – H.

Dan pimpinan redaksi Majalah Tokoh Indonesia itu memberikan kesaksian tertulisnya tentang pengalamannya bersahabat dengan pimpinan Pondok Pesantren Al – Zaytun Syakh Al – Zaytun Prof., Dr., Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang.

Berikut ini adalah tulisan asli dari wartawan senior Ch. Robin Simanullang yang memberikan kesaksiannya tentang apa dan bagaimana Al – Zaytun.

Al-Zaytun sangat ramai diperdebatkan, diantaranya tentang adanya jamaah perempuan di shaf pertama dan juga seorang kristiani, serta jarak yang renggang dan adanya kursi. Belum lagi tentang substansi khutbah Syaykh Al-Zaytun Prof. Dr. AS Panji Gumilang tentang keberadaan Israel di Tanah Kanaan-Palestina yang seolah mereka penjajah. Kemudian, beberapa pihak kembali mengaitkan Al-Zaytun dengan NII, anti-Pancasila, Islam aliran keras, intoleran, mengkafir-kafirkan orang lain, dan lain isu negatif lainnya.

Saya adalah seorang kristiani sahabat Al-Zaytun yang sudah 20 kali menghadiri dan mengikuti Sholat Id di Kampus Hijau bersemangat pesantren dan bersistem modern ini. Kali ini (Sholat Id 1444 H) saya mendapat kehormatan luar biasa karena dipersilakan duduk di kursi shaf paling depan dan paling tengah. Hal ini memungkinkan karena adanya kursi dan jarak yang renggang yang diberlakukan sejak pandemi Covid-19 yang disikapi dengan Orde Hidup Baru.

Biasanya, ketika sholat berjamaahnya dengan jarak rapat (hanya sedikit jarak), saya duduk di pinggir atau di pelataran. Tentang hal ini saya sudah tulis secara singkat bertajuk ‘Menikmati Sholat Id di Al-Zaytun’ dan saya mendapat kesempatan (kehormatan) memaparkannya di program Apa Kabar Siang TVOne bertajuk ‘Toleransi ala Al-Zaytun’.
Selain bentuk penghormatan tertinggi (dalam benak saya), hal yang paling menarik perhatian saya setiap kali mengikuti Sholad Id (maupun acara-acara lainnya) di Al-Zaytun adalah substansi khutbah atau tausiyah Syaykh Panji Gumilang (dimana saya seringkali berdialog berjam-jam dengan beliau); yang selalu mencerahkan sesuai motto pesantren ini sebagai Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian.

Bahkan seringkali saya memaknainya sebagai khotbah/tausiyah dan/atau dialog Pancasila yang bersifat universal; dan sebagai jurnalis selalu saya tulis di Majalah Berita Indonesia dan Website/Majalah TokohIndonesia.com. Pada tahun 2015, saya ‘merangkum dan memaknai’ berbagai tulisan itu dalam buku berjudul: AL-ZAYTUN SUMBER INSPIRASI Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara.

Berikut ini saya cuplik salah satu Sub-Prolognya bertajuk ‘Al-Zaytun dan Pusaran Kontroversi’. Ketika saya pertama kali bertemu dan berjabat tangan dengan Syaykh Al-Zaytun Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang (Kamis 19 Februari 2004), saya memperkenalkan diri dengan cara yang tidak lazim: Saya Christian Robinson Simanullang. Kita berbeda aliran, saya seorang Kristiani!” Itulah kalimat pertama yang terucap. Tentu, hal itu bukanlah cara perkenalan yang pantas.

Tetapi kali ini, saya memang sengaja memilih kata itu berhubung berbagai pemberitaan kontroversial tentang kehadiran Pondok Pesantren Al-Zaytun (Ma’had Al-Zaytun) dan pribadi Syaykh Abdussalam Panji Gumilang sendiri sebagai penggagas, pendiri dan pemimpinnya yang antara lain dikait-kaitkan dengan NII (Negara Islam Indonesia)[1], Islam garis keras, sarang teroris dan sesat.

Buku Al-Zaytun Sumber Inspirasi. Jendela Dunia Melihat Al-Zaytun Sejak tahun 2000 telah muncul gonjang-ganjing atas kehadiran spektakuler pondok pesantren (ponpes) modern (Kampus Al-Zaytun) tersebut. Berbagai media ramai memberitakannya.

Maklum, ponpes yang berdiri megah dan modern di atas lahan seluas 1200 hektar jauh di pelosok Dusun Sandrem, Desa Mekarjaya (pemekaran Desa Gantar), Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, itu dibangun pada saat krisis multidimensional tengah melanda negeri ini, disusul gerakan reformasi yang memaksa Presiden Soeharto lengser keprabon (21 Mei 1998).

Lalu hanya satu tahun berikutnya, tepatnya pada 27 Agustus 1999, Presiden Republik Indonesia Prof. BJ. Habibie meresmikan Ma’had Al-Zaytun tersebut. Banyak orang yang terheran-heran, ada yang kagum, takjub! Tapi ada pula yang bersakwasangka dan bernada iri dan dengki, senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.

Koq bisa? Dalam kondisi banyak pengusaha yang bangkrut dan negara pun lagi kelimpungan, menggaji pegawai saja harus ngutang, serta jutaan rakyat harus ngantri bantuan sembako baru bisa makan, koq ada yang bisa membangun Ponpes sehebat itu? Siapa pemiliknya dan dari mana biaya pembangunannya? Advertisement Muncul berbagai dugaan dan spekulasi. Semula banyak orang, termasuk saya sendiri, menduga Al-Zaytun proyeknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)[2].

Dugaan ini muncul lantaran ormas ini lagi berada dalam pusaran puncak kekuasaan (mengambil-alih pengaruh ABRI di Golkar) di mana Ketua Umumnya Prof. BJ Habibie menjabat Presiden RI menggantikan Presiden Soeharto. Apalagi Presiden BJ Habibie sendiri yang meresmikan Ponpes tersebut.

Ada pula yang berspekulasi bahwa ponpes ini didanai oleh pihak asing. Dugaan terkuat dana dari Timur Tengah sebagai bagian dari ekspansi gerakan Islam transnasional yang dimotori Wahabi (Wahabisme)[3] atau Ikhwanul Muslimin[4] yang terbilang ekspansif mengembangkan sayap di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.

Hal mana menurut KH. Abdurrahman Wahid, pada umumnya aspirasi kelompok garis keras di Indonesia dipengaruhi oleh gerakan Islam transnasional dari Timur Tengah, terutama yang berpaham Wahabi atau Ikhwanul Muslimin, atau gabungan keduanya.

Bahkan ada pula yang berspekulasi menduga didanai oleh Pemimpin Libya Moammar Khaddafi[6]. Dugaan lebih ‘seru’ didanai oleh Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden. “Gambaran saya sebelumnya bahwa pesantren ini mendapat bantuan dari Timur Tengah,” kata Prof. Drs. Dawam Rahardjo, salah seorang pendiri dan Ketua ICMI serta Ketua Tim Penasihat Presiden BJ Habibie (1998-1999), memberi pandangan tentang siapa yang mendanai pembangunan Al-Zaytun.

“Ternyata tidak! Melainkan dari Allah melalui mekanisme umat,” lanjut Dawam Rahardjo setelah berkunjung ke Al-Zaytun, 14 Desember 2000. Dawam pun menyatakan rasa kagum karena proyek semacam ini jika dirancang dengan perhitungan bisnis semata jelas tidak feasible.

Tapi ternyata melalui mekanisme umat bisa dilakukan. “Mekanisme ini perlu kita ketahui bersama supaya kelompok umat Islam yang lain perlu dan bisa melaksanakan seperti yang dilakukan oleh Al-Zaytun. Maka kita di sini belajar dan ICMI menjadi perantaranya. Jika bisa, maka akan diberlakukan di tempat lain,” ujar Dawam kala itu. [Rukmana]

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>