Connect with us

Berita

Jika Ada Bukti Kecurangan, Mahfud Sebut MK Miliki Kewenangan Batalkan Hasil Pemilu

Published

pada

AKTUALITAS.ID – Calon wakil presiden nomor urut 03, Mahfud Md menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki kewenangan untuk membatalkan hasil pemilu.

Hal tersebut dapat dilakukan jika pihaknya memiliki bukti terjadi kecurangan-kecurangan masif selama proses penyelenggaraan hingga pemungutan suara berlangsung.

“Ketika saya menjadi ketua MK, MK pernah memutus pembatalan hasil pemilu dalam bentuk perintah pemilihan ulang maupun pembatalan penuh, sehingga yang menang dinyatakan diskualified dan yang kalah naik,” kata Mahfud saat ditemui di kawasan Salemba, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2/2024).

Mahfud menjelaskan jika MK menuturkan bahwa pemilu tersebut tidak sah, maka bisa jadi pemilu ulang dilaksanakan. Hal ini ia ungkapkan berdasarkan pengalamannya sebagai Ketua MK 2008-2013.

“Jadi, misalnya saya sebutkan contohnya, hasil Pilkada Jawa Timur, 2008, saat Khofifah dinyatakan kalah dari Soekarwo kita batalkan hasilnya dan diulang,” jelasnya.

Kasus kedua, ketika ia mengurus kasus hasil Pilkada Bengkulu Selatan yang menang didiskualifikasi akibat terbukti tidak memenuhi persyaratan karena Dirwan Mahmud merupakan seorang narapidana. Gugatan tersebut dilayangkan oleh pasangan Reskan Effendi-Rohidin Mersyah.

“Tiga, hasil pilkada Kota Waringin Barat sama dengan Bengkulu Selatan dan banyak lagi kasus di mana ada pemilihan ulang, terpisah, daerah tertentu, desa tertentu dan sebagainya,” ucapnya.

Oleh karena itu, Mahfud mengatakan bahwa untuk pertama kali istilah pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif itu muncul sebagai vonis pengadilan di Indonesia tahun 2008 ketika MK memutus sengketa Pilgub antara Khofifah dengan Soekarwo, ketika waktu ia menjabat sebagai hakimnya. Dan setelah menjadi dasar, vonis-vonis lain pun masuk secara resmi di dalam hukum pemilu kita.

“Jadi ini sudah menjadi yurisprudensi dan juga menjadi aturan di undang-undang, di peraturan KPU, di peraturan Bawaslu itu ada, pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif itu,” ungkapnya.

“(Jadi) tergantung hakimnya punya bukti atau tidak. Atau kalau sudah punya bukti menerima bukti, apa berani apa tidak,” tuturnya, menambahkan. (YAN KUSUMA/RAFI)

Trending

Exit mobile version