Connect with us

NASIONAL

Gugat Pasal 21 UU Tipikor, Hakim MK Ingatkan Potensi Bahaya: Pemberantasan Korupsi Bisa Terhambat

Aktualitas.id -

Ilustrasi suasana sidang MK, Dok: aktualitas.id

AKTUALITAS.ID – Sidang uji materi Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Mahkamah Konstitusi (MK) diwarnai peringatan keras dari para hakim. Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengingatkan agar gugatan ini tidak menjadi celah yang justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi di tanah air.

Dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Rabu (15/10/2025), Daniel mempertanyakan potensi dampak jika permohonan tersebut dikabulkan. Ia khawatir penafsiran baru terhadap pasal tersebut dapat membatasi ruang gerak aparat penegak hukum.

“Kalau dikaitkan dengan permohonan ini, pertanyaan saya adalah: apakah tidak mengamputasi kewenangan aparat penegak hukum?” ujar Daniel dengan tegas.

Daniel menekankan bahwa ruh dari UU Tipikor adalah untuk melindungi kepentingan publik dan keuangan negara dari kejahatan korupsi. Oleh karena itu, setiap penafsiran terhadap pasalnya harus sejalan dengan semangat tersebut, bukan sebaliknya.

“Tujuan utama pembentukan UU Tipikor adalah untuk menjaga kepentingan publik. Kalau tafsir terhadap pasal ini malah membatasi atau mengurangi kewenangan aparat dalam menindak pelaku korupsi, itu bisa berbahaya bagi penegakan hukum,” lanjutnya.

Sorotan pada Rumusan Pasal yang Kumulatif

Di sisi lain, Hakim Konstitusi Arsul Sani menyoroti masalah teknis dalam rumusan Pasal 21 UU Tipikor yang dinilai berpotensi menimbulkan multitafsir. Ia fokus pada penggunaan kata ‘dan’ yang bersifat kumulatif dalam frasa “menghalangi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan”.

Menurut Arsul, sifat kumulatif ini bisa menjadi masalah. “Pertanyaannya, kalau ada perbuatan yang menghalangi hanya di tingkat penyidikan, tetapi tidak di penuntutan atau pengadilan, apakah itu bisa dipidana? Karena di sini unsurnya kumulatif, bukan alternatif,” jelas Arsul.

Ia menambahkan, ketidakjelasan ini bisa berbahaya. Tindakan hukum yang sah, seperti mengajukan praperadilan atau gugatan perdata, bisa keliru ditafsirkan sebagai upaya menghalangi penegakan hukum jika tidak ada batasan yang jelas.

Arsul juga mengungkap bahwa permohonan uji materi ini datang dari berbagai pihak dengan fokus yang berbeda, mulai dari mempersoalkan frasa “langsung atau tidak langsung” hingga usulan penambahan unsur “melawan hukum”.

Untuk itu, Arsul menilai MK perlu mendalami kembali niat awal pembentuk undang-undang saat merumuskan pasal tersebut. “Kita perlu tahu maksud pembentuk undang-undang saat merumuskan Pasal 21 ini. Apakah memang dimaksudkan kumulatif, atau seharusnya alternatif,” pungkasnya. (Ari Wibowo/Mun)

TRENDING

Exit mobile version