Connect with us

NASIONAL

Ketua Komisi III DPR: Perlu Pendekatan Restorative Justice dalam Kasus Ringan

Aktualitas.id -

Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Habiburokhman, Dok: aktualitas.id

AKTUALITAS.ID – Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Habiburokhman, secara terbuka menyoroti kecenderungan hukum modern yang dinilai terlalu cepat memidanakan pelanggaran ringan, bahkan dalam interaksi guru dan murid. Hal ini disampaikannya saat menerima Aliansi Mahasiswa Nusantara (Aman) di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (15/10/2025), dalam pembahasan revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Habiburokhman menggunakan contoh kasus guru yang dipidana hanya karena menjewer atau mencubit murid sebagai ilustrasi masalah tersebut.

“Sekarang aja ada guru cubit murid jadi pidana, guru jewer murid jadi masalah. Dulu kita dipukul pakai penggaris kayu besar kan kita jadi tertib, tadinya enggak hafal doa tertentu, jadi hafal,” ujar Habiburokhman, membandingkan sistem pendidikan masa lalu dengan era kriminalisasi guru saat ini.

Restorative Justice sebagai Solusi Hukum Adat

Menurutnya, tidak semua pelanggaran hukum, terutama yang sifatnya ringan, harus berakhir di pengadilan. Ia menegaskan bahwa solusi untuk memecahkan masalah ini sudah lama hidup dalam budaya hukum Indonesia, yakni konsep Restorative Justice.

Habiburokhman menyebut bahwa praktik penyelesaian damai sudah menjadi bagian integral dari hukum adat, termasuk Qanun di Provinsi Aceh.

“Kalau masalah interaksi masyarakat, apalagi hanya ITE, ujaran, perkelahian pemuda, kalau zaman dulu jarang yang sampai ke kepolisian. Karena kedua belah pihak bisa berbicara dengan keluarga besarnya masing-masing. Malah dari berkelahi, jadi saudara,” jelasnya.

Revisi KUHAP Dorong Penerapan Nilai Lokal

Politisi tersebut menegaskan bahwa Restorative Justice akan dieksplorasi secara mendalam dalam revisi KUHAP yang sedang digarap DPR. Tujuannya adalah untuk menghindari tumpang tindih dan konflik antara hukum adat lokal dan hukum nasional.

“Nah ini nilai-nilai yang sebetulnya baik, yang sudah kita praktikkan dulu, kita eksplorasi lagi mau kita masukkan ke norma hukum kita. Supaya kalau jadi norma, nggak semua-semua salah itu harus ke pengadilan,” pungkas Habiburokhman, menekankan bahwa langkah ini bertujuan agar sistem peradilan dapat lebih bijak dalam menyikapi kasus-kasus sosial yang bersifat ringan. (Ari Wibowo/Mun)

TRENDING

Exit mobile version