RILEKS
Mencegah Terorisme Dengan Pendekatan Kemanusiaan dan Ketangguhan Sosial
Oleh: Prof. Dr. Hoiruddin Hasibuan, SH., M.Hum.Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan Desa dan Pembangunan Perbatasan
Terorisme bukan hanya tentang ledakan bom dan kekerasan bersenjata. Ia adalah gejala kompleks yang tumbuh dari luka sosial, ketimpangan, dan kegagalan memahami perbedaan. Di Indonesia, setelah dua dekade perjuangan melawan teror, kita belajar bahwa memadamkan api ekstremisme tidak cukup dengan peluru dan penjara, namun harus dengan hati, pendidikan, dan empati.
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam penegakan hukum terhadap jaringan teror. Detasemen Khusus 88 (Densus 88 AT) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berhasil menekan aktivitas kelompok-kelompok ekstrem seperti: JI (Jamaah Islamiyah), JAD (Jamaah Ansharut Daulah) dan MIT Poso. Namun, setiap kali satu jaringan tertangkap, muncul sel baru dengan wajah berbeda. Ini menunjukkan bahwa yang harus kita lawan bukan hanya pelakunya, tapi juga ideologinya.
Pendekatan keamanan (hard approach) tetap diperlukan. Namun, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pencegahan tidak boleh hanya berorientasi pada penindakan. Harus ada keseimbangan antara law enforcement dan soft approach berbasis kemanusiaan.
Pendekatan lembut (soft power approach) ini melibatkan pendidikan, pemberdayaan ekonomi, pembinaan ideologi, dan penguatan ketahanan sosial. Program deradikalisasi dan kontra-radikalisasi BNPT, misalnya, telah menjadi contoh bagaimana negara tidak hanya menghukum, tapi juga memulihkan. Mantan narapidana terorisme diberi pelatihan kerja, dibantu reintegrasi sosial, dan bahkan dilibatkan dalam sosialisasi damai di komunitasnya. Inilah wajah baru pencegahan terorisme: rehabilitatif, bukan hanya represif.
Dalam konteks pemerintahan desa, pencegahan terorisme menjadi semakin relevan. Desa adalah tempat di mana nilai gotong royong, solidaritas, dan kebersamaan tumbuh alami. Jika nilai-nilai itu diperkuat, maka radikalisme sulit tumbuh. Program seperti Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) perlu diperluas hingga ke tingkat desa. Di sana, tokoh masyarakat dan tokoh agama dapat menjadi early detector terhadap potensi radikalisme.
Pemerintahan desa juga bisa menjadi basis pendidikan kebangsaan. Pancasila, toleransi, dan kebinekaan perlu diajarkan bukan hanya di sekolah, tetapi juga di ruang publik desa. Seperti kata Bung Karno: “Gotong royong adalah jiwa Indonesia yang tidak boleh mati.” Nilai gotong royong adalah vaksin sosial paling efektif untuk mencegah virus ekstremisme.
Di era digital, medan pertempuran melawan terorisme juga berpindah ke dunia maya. Media sosial menjadi ruang propaganda, tetapi juga bisa menjadi ruang edukasi dan kontra-narasi. Generasi muda harus dilibatkan sebagai digital peace builders (pembawa pesan damai), bukan pembenci. Kampanye digital seperti #KitaCintaDamai dan #PancasilaAbadi perlu terus diperkuat, terutama di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Mahasiswa memiliki peran strategis dalam membangun narasi kebangsaan yang moderat dan rasional. Mereka bukan sekadar penerus masa depan, tetapi benteng nilai-nilai toleransi hari ini. Menangkal terorisme berarti memperkuat identitas kebangsaan yang inklusif dan terbuka.
Pencegahan terorisme di Indonesia harus diletakkan dalam bingkai besar: membangun masyarakat yang tangguh, adil, dan berdaya. Kita tidak sedang berperang melawan agama, ras, atau kelompok, melainkan melawan cara berpikir sempit yang meniadakan kemanusiaan. Selama keadilan sosial terwujud, ekonomi rakyat diperkuat, dan pendidikan karakter dijalankan dengan konsisten — radikalisme akan kehilangan panggungnya.
“Pancasila adalah napas yang menghidupi setiap tindakan dan kebijakan kita dalam bernegara, bukan sekadar simbol di atas kertas. Mencegah terorisme berarti menanamkan harapan dan kemanusiaan, bukan hanya memadamkan kebencian.
Tentang Penulis:
Prof. Dr. Hoiruddin Hasibuan, SH., M.Hum., adalah Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan Desa dan Pembangunan Perbatasan. Beliau juga merupakan pensiunan Polri dengan pangkat terakhir Brigjen Pol (Purn), dikenal aktif dalam program penaganan terorisme (khsususnya ketika bertugas selama 16 tahun di jajaran Densus 88 AT Polri dan beberapa tahun bertugas di BNPT, dalam kajian hukum, kebijakan publik, keamanan nasional, dan pembangunan masyarakat desa yang berkarakter Pancasila.
-
EKBIS27/10/2025 09:15 WIBUpdate Harga Pangan Jakarta 27 Oktober: Penurunan Beras dan Kenaikan Cabai
-
EKBIS27/10/2025 10:45 WIBRupiah Awal Pekan Menguat, Dolar AS Melemah ke Level Rp16.580 per Dolar
-
EKBIS27/10/2025 11:45 WIBCek Tarif Listrik PLN per kWh Terbaru untuk Pekan Ini
-
EKBIS27/10/2025 08:30 WIBDaftar Harga BBM Pertamina 27 Oktober 2025, dari Jawa Hingga Papua
-
NUSANTARA27/10/2025 06:30 WIBSungai Meluap, 171 Rumah di Tolitoli Terendam Banjir Setinggi Atap
-
EKBIS27/10/2025 11:15 WIBEmas Antam Turun Harga, Cek Harga Terbaru Hari Ini
-
DUNIA27/10/2025 08:00 WIBNetanyahu Tegaskan Israel Akan Pilih Sendiri Negara Asal Pasukan Perdamaian Gaza
-
NUSANTARA27/10/2025 13:30 WIBAkibat Longsor, 2 Warung di Rest Area JLS Tulungagung Jatuh ke Jurang