Agar ASN Netral, Ketua DPR Minta KKP Kepala Daerah Dijabat Sekda


Ketua DPR Bambang Soesatyo. AKTUALITAS.ID/Kiki Budi Hartawan.

AKTUALITAS.ID – Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta kepada pemerintah agar Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) yang dijabat Kepala Daerah, untuk selanjutnya dijabat oleh Sekretaris Daerah (Sekda) di setiap pemerintah daerah, guna meminimalisir intervensi politik terhadap aparatur sipil negara (ASN).

Permintaan tersebut disampaikan Ketua DPR Bambang Soesatyo yang akrab dipanggil Bamsoet itu di Jakarta itu Sabtu (9/3/2019), terkait dengan adanya pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) secara terang-terangan dalam Pemilu 2019.

Pelanggaran terang-terangan ASN yang dimaksudkan Bamsoet itu adalah seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, yang secara terang-terangan memberikan dukungan kepada salah satu pasangan Capres dan Cawapres yang melibatkan 15 camat di Makassar, Sulawesi Selatan serta di Jawa tengah yang melibatkan 35 kepala daerah.

Bamsoet juga mendorong Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB), Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan para PPK di instansi pemerintahan untuk mensosialisasikan dan memberikan penjelasan kepada seluruh ASN agar tetap bersikap netral dalam menggunakan hak pilihnya di Pemilu 2019.

Politisi Partai Golkar ini juga minta Komisi ASN (KASN) untuk meningkatkan dan memperketat pengawasan guna menjaga jangan sampai birokrasi dicemari ketidak netralan ASN, serta memperkuat KASN yang selama ini hanya memberikan rekomendasi kepada PPK atas pelanggaran ASN, nantinya bisa langsung menjatuhkan sanksi.

Masih terkait netralitas dan pelanggaran Pemilu 2019 dalam sebuah diskusi MPR di Senayan Jakarta belum lama ini, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri diminta selektif dalam memberikan status kewarganegaraan kepada orang asing yang akan ikut Pemilu 2019.

Permintaan itu disampaikan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Firman Subagyo. Menurut dia selektifitas itu penting untuk menjaga NKRI. Kalaupun kepada mereka (WNA) diberi e-KTP, harus dibedakan warnanya dengan e-KTP WNI.

“Itu penting untuk mengantisipasi kemungkinan WNA yang tidak memiliki hak pilih ikut memberikan suara dalam pemilu. Dikatakannya, teori tersistematis sekalipun yang disiapkan pemerintah untuk antsipasi, tak akan efektif saat pemungutan suara di TPS,” ujar dia.

Firman mengatakan, pihaknya memahami, sistem digital yang dibuat pemerintah untuk mencegah penyusupan WNA dalam pemilu, sudah baik. Tetapi kondisi di TPS yang serba keterbatasan sarana prasarana, terutama di daerah daerah terpencil, akan membuat pemilu jebol.

Oleh karena itu lanjut dia, tidak dibutuhkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) untuk mengatasi kemungkinan itu. Cukup besakan saja e-KTP WNI dan WNA. Apalagi waktu pemilu tinggal sebulan lagi. Sudah tidak cukup waktu untuk membuat Perppu, tegas dia.

Ketua Pusat Studi Konstitusi Universitas Trisakti Dr Trubus Rahardiansyah yang juga ikut sebagai pembicara ketika itu mengatakan, kalangan akademisi was-was pemilu ini akan bermaslah berat. Untuk itu penyelenggara pemilu harus beri kewenangan kepada pengawas di TPS melakukan introgasi, hingga menyerahkan kepada aparat berwenang bila menemukan orang-orang yang melakukan pemalsuan identisas di TPS.

“Pengawas harus diberi kewenangan melakukan penyelidikan, introgasi dan apabila ternyata ada yang memalsukan identitas, tidak bisa berbahasa Indonesia dan lain sebagainya, pengawas pun juga berwenang menyerahkan oknum itu kepada aparat berwenang,” papar dia. [Pelita]

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>