96 Persen Masyarakat Indonesia Dukung Pilkada Langsung


Pilkada Serentak

AKTUALITAS.ID – Peneliti Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad mengatakan bahwa argumen orang-orang yang ingin mengembalikan pemilihan langsung menjadi pemilihan tidak langsung itu tidak cukup punya dasar kuat.

“Menurut saya kurang fair kalau kita membacanya absolut. Ada biaya Rp11 triliun yang dikeluarkan dengan pemilihan langsung berbanding misalnya mungkin berapa miliar kalau pemilihannya di gedung parlemen. Tidak bisa dibaca semacam itu, kita harus baca hasilnya dari pilkada langsung,” kata Saidiman di kantor Populi Center, Slipi, Jakarta Barat, Rabu (4/12).

Menurut Saidiman, soal money politics atau vote buying apakah jual beli suara itu memang bisa implikasi dari sistem atau memang hal lain di luar itu. Oleh karena itu bukan sistemnya yang menyebabkan jual beli suara namun hal lain di luar itu.

“Yaitu terutama oligarki di partai. Biayanya menjadi mahal karena masih ada tradisi di partai, misalnya pertama ada tradisi mahar. Yang kedua suplai kandidat sari partai itu tidak cukup baik ditawarkan ke publik,” katanya.

Berdasarkan hasil survei di setiap daerah, ia menambahkan, selalu ditemukan tiga hal yang paling utama yang menjadi alasan publik memilih. Yang pertama adalah terbukti hasil kerjanya, yang kedua soal integritas, kejujuran kemudian yang ketiga itu soal dekat dengan rakyat. Jadi aspek-aspek rasional itu yang menjadi pertimbangan.

“Tapi apakah calon-calon yang diajukan partai ini memenuhi kriteria yang diinginkan oleh rakyat, itu yang menjadi persoalan. Daerah daerah di mana calonnya memenuhi kriteria rasional warga itu, itu dengan mudah memenangkan pemilu,” ujarnya.

Hal itu terlihat kata dia di berbagai Pilkada, seperti Pilkada Jawa Barat dimenangkan oleh Ridwan Kamil dan juga Pemilihan Wali Kota Surabaya yang dimenangkan oleh Tri Rismaharini.

Survei terakhir SMRC April 2019, kata dia, ketika publik ditanya seberapa penting memilih langsung kepala pemerintahan maka sebanyak 96 persen orang Indonesia menilai pemilihan langsung kepala pemerintahan itu sangat penting.

“Itu hanya satu persen yang mengatakan kurang penting dan satu persen mengatakan tidak penting. Ada tiga persen yang tidak menjawab. Jadi besar sekali dukungan publik,” ujarnya.

Lanjut dia, kalau ada gerakan untuk mengembalikan sistem ini ke pemilihan oleh DPR apalagi kepala daerah menjadi pemilihan tak langsung maka bisa dianggap berlawanan dengan kehendak rakyat.

“Kenapa muncul wacana ini? Menurut saya ini karena ada super elite, di atasnya elite ada yang disebut super elite, ketua-ketua partai itulah yang berkepentingan sebetulnya dan orang-orang partai, orang-orang DPR yang hanya elite biasa itu tidak mampu melawan itu,” katanya.

“Jadi ada oligarki yang sedemikian kuat di partai yang tidak bisa dilawan oleh kader partai itu sehingga seolah-olah wacananya, umumnya orang orang partai ingin kembali ke sistem lama. Walaupun ada dua yang saya kira sampai saat ini cukup tegas (menolak pemilihan tak langsung) itu PKS dan Golkar,” katanya.

slug . '" class="' . $tag->slug . '">' . $tag->name . ''; } } ?>