Connect with us

Berita

Soal Putusan MA, Pakar Hukum: Tak Pengaruhi Kemenangan Jokowi di Pilpres 2019

AKTUALITAS.ID – Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan sengketa Pilpres diajukan Rachmawati Soekarnoputri dan enam orang pemohon lainnya. Rachmawati menggugat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 Pasal 3 Ayat 7. PKPU itu mengatur soal penetapan pemenang Pilpres. Majelis hakim MA menilai pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum […]

Published

pada

AKTUALITAS.ID – Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan sengketa Pilpres diajukan Rachmawati Soekarnoputri dan enam orang pemohon lainnya. Rachmawati menggugat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 Pasal 3 Ayat 7.

PKPU itu mengatur soal penetapan pemenang Pilpres. Majelis hakim MA menilai pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang disadur dari UUD 1945.

Lalu bagaimana keabsahan kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019?

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar, Fahri Bachmid membedah perihal keputusan MA tersebut. Menurut Fahri, putusan MA tersebut tidak memiliki implikasi yuridis apapun terhadap kedudukan Jokowi-Ma’ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 lalu.

“Secara konstitusional keabsahan Presiden Jokowi telah final. Dan putusan MA ini tidak ada dampaknya sama sekali, karena secara teknis hukum memang beda, baik dari aspek yurisdiksi kewenangan antara MA dan MK maupun fungsionalisasi serta kepentingan peradilan dalam memutus perkara itu,” ujar Fahri Bachmid dalam keterangan tertulisnya, Selasa (7/7/2020).

Fahri meminta, semua pihak tenang dan tidak berpolemik atas dikabulkannya permohonan gugatan uji materiil Rachmawati oleh MA tersebut. Sebab, hasil sengketa Pilpres yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sudah final dan mengikat dan tidak ada upaya hukum apapun yang tersedia untuk mempersoalkannya lagi.

“Kalau hari ini muncul putusan MA, itu tidak terkait dengan keabsahan Jokowi sebagai presiden,” kata Fahri lagi.

Menurut Fahri, MA memang diberi kewenangan konstitusional untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU. Disebutkan Fahri, putusan MA yang mengabulkan gugatan Rahmawati dkk yang didaftarkan pada 14 Mei 2019 lalu, itu tidak termasuk kasus konkret terkait sengketa hasil Pilpres.

“Karena ini merupakan pengujian norma abstrak, bukan melakukan pengujian kasus konkret terkait sengketa hasil Pilpres 2019, itu merupakan hal yang biasa dalam sistem hukum nasional kita saat ini,” jelas Fahri.

Jika gugatan Rachmawati dkk dikaitkan dengan sengketa hasil Pilpres, Fahri memaparkan, hal itu tidak tepat karena hasil sengketa Pilpres 2019 yang bersifat konkret sudah diadu melalui mekanisme ketatanegaraan dan proses ajudikasi yang bersifat imparsial serta objektif oleh MK.

Dengan demikian, kata dia, putusan MK bernomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 tentang Pilpres sudah final dan mengikat serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, itulah konsekuensi dari sistem demokrasi konstitusional dan negara hukum yang demokratis yang dianut.

“Dengan demikian keabsahan dan legitimasi Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin adalah legitimasi yang mempunyai basis legal-konstitusional,” papar Fahri.

Fahri mengatakan, MA memiliki pendirian Yuridis dalam pertimbangan hukum terkait objek pengujian materiil yang dilayangkan Rachmawati dkk.

Pertimbangan hukum MA tentang hak uji materiil, tersebut adalah putusan MA tentang objek Hak Uji Materiil yaitu ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5 Tahun 2019 Tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum,secara jelas menghilangkan syarat Presidential threshold sedikitnya 20 persen suara provinsi yang tersebar di lebih dari (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.

Oleh karenanya, norma ketentuan tersebut tidak mempedomani norma ketentuan diatasnya yakni pasal 416 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang merupakan norma yang disadur dari ketentuan Pasal 6A ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.

MA berpendapat, ketentuan Pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum BAB XII Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih dan Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Bagian Kesatu Penetapan Perolehan Suara Presiden dan Wakil Presiden, tidak ada ketentuan dan perintah untuk dapat mengatur perihal penetapan pasangan terpilih apabila hanya terdapat 2 (dua pasangan) calon presiden dan wakil presiden.

“Jadi pengaturan yang dibuat oleh KPU dalam PKPU tersebut adalah pranata yang tidak diperintahkan secara derivatif oleh aturan diatasnya, sehingga itu yang dinilai bertentangan dengan UU Pemilu,” ujar Fahri.

Disebutkan Fahri, tidak ada ketentuan dan perintah untuk dapat mengatur perihal penetapan pasangan terpilih apabila hanya terdapat 2 pasangan Capres-Cawapres. Bahkan ketentuan pasal 416 ayat 1 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pilpres dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

“Pendapat MA tentang ketentuan objek Hak Uji Materiil Pasal 3 ayat (7) PKPU Nomor 5 Tahun 2019 tidak dapat diakui keberadaannya dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena tidak diperintahkan dalam peraturan perundang-undangan di atasnya yakni UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang merupakan penjabaran ulang norma yang terkandung dari ketentuan UUD 1945 Pasal 6A sebagai peraturan tertinggi yang mana keberadaan pasal-pasal dalam UUD 1945 adalah pilihan dari pembuat UUD 1945 yang seharusnya tidak bisa dinilai,” sebut Fahri.

Fahri berpendapat, KPU dalam membuat rumusan norma sebagaimana terdapat dalam ketentuan pasal 3 ayat (7) PKPU No. 5/2019 telah mereduksi makna ketentuan pasal 6A UUD NRI Tahun 1945 dan pasal 416 UU No. 7/2017 Tentang Pemilu. Sehingga ini merupakan ranah ajudikasi peradilan MA, yang tidak terkait dengan proses ajudikasi sengketa hasil yang telah selesai dan final di MK.

Menurut Fahri, PKPU Nomor 5 Tahun 2019 bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat dan asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis Peraturan Perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedangkan objek hak uji materiil a quo tidak diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi serta tidak mencerminkan asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan dengan pasal 416 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945.

“Jadi seluruh rangkaian argumentasi itu sama sekali tidak terkait dengan masalah eksistensi keabsahan serta legitimasi Presiden terpilih. Itu adalah dua hal yang berbeda. Sejatinya putusan itu adalah karena KPU RI mereduksi norma ketentuan diatasnya saja. Dan urusan Pilpres telah selesai,” tutup Fahri yang juga Mantan Tim Kuasa Hukum Jokowi-Ma’ruf Amin ini.

Untuk diketahui, putusan MA bernomor 44/P/PHUM/2019 baru diunggah pada laman MA pada 3 Juli 2020. Padahal uji materiil yang dilayangkan Rachmawati dkk tersebut diputuskan pada 28 Oktober 2019. Duduk sebagai Ketua Majelis Hakim adalah Hakim Supandi dengan Hakim Anggota Irfan Fachruddin dan Is Sudaryono.

Trending

Exit mobile version