RAGAM
Catatan Pinggir: Dari Kacung Kuda Kolonial hingga Operator Parkir Digital

AKTUALITAS.ID – Di balik riuh lalu lintas dan padatnya jalanan kota, ada sosok yang kerap hadir di antara kendaraan: berseragam rompi oranye atau biru, menggenggam peluit, dan sigap mengatur mobil-mobil yang hendak berhenti. Mereka adalah tukang parkir profesi yang sering diremehkan, namun keberadaannya begitu melekat dalam denyut kehidupan urban Indonesia.
Tapi pernahkah Anda bertanya: sejak kapan profesi ini muncul di tanah air? Dan bagaimana mereka bertahan menghadapi arus zaman yang terus berubah?
Ternyata, kisah tukang parkir bukan sekadar soal parkir. Ini adalah narasi panjang tentang perubahan kota, kelas sosial, bahkan teknologi.
Pra-Mobil: Penjaga Delman di Zaman Kolonial (1800-an)
Sebelum mobil dikenal masyarakat Nusantara, transportasi utama adalah andong dan delman. Di kota-kota seperti Batavia (Jakarta) dan Surabaya, mulai muncul jasa penjagaan kendaraan tak bermotor itu.
Kala itu, para “penjaga kendaraan” dikenal sebagai “kacung parkir”—anak-anak pribumi yang ditugasi menjaga andong milik tuannya saat mereka belanja, makan, atau menginap di hotel. Sambil menunggu, mereka juga membersihkan roda atau memberi makan kuda. Imbalannya? Sekadar uang receh atau sisa makanan.
Tidak ada peluit, tidak ada sistem tarif. Tapi peran mereka sangat vital: penjaga kendaraan sebelum istilah itu resmi ada.
Munculnya Mobil dan Parkir Eksklusif (1900–1940-an)
Perubahan besar datang pada pergantian abad ke-20. Tahun 1894, Sri Susuhunan Pakubuwono X membeli mobil Benz, menjadikannya pemilik mobil pertama di Hindia Belanda.
Kemudian pada era 1920-an, mobil mulai merambah kalangan elite kolonial dan bangsawan lokal. Hotel-hotel mewah seperti Hotel des Indes di Batavia mempekerjakan staf khusus untuk menyambut kendaraan para tamu—mereka inilah cikal bakal petugas parkir resmi.
Namun parkir masih berbau kemewahan. Akses hanya untuk orang Eropa, pejabat kolonial, dan bangsawan. Kendaraan menjadi lambang status, dan urusan parkir adalah bagian dari pelayanan kelas atas.
Revolusi Parkir Pasca-Kemerdekaan (1950–1970)
Setelah Indonesia merdeka, mobil tidak lagi menjadi milik kaum elite saja. Di Jakarta, tahun 1955, tercatat lebih dari 25.000 kendaraan melintasi jalanan ibukota.
Di titik inilah muncul istilah “jago parkir”—warga lokal yang secara sukarela menjaga kendaraan di area pasar, bioskop, atau terminal. Kawasan seperti Pasar Baru, Senen, dan Tanah Abang menjadi ladang subur profesi ini.
Tidak ada sistem resmi. Upahnya dikenal sebagai uang rokok. Tapi di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil, profesi ini menjadi sandaran hidup banyak keluarga.
Ledakan Motor & Era Premanisme Parkir (1980–2000)
Tahun 1980-an membawa gelombang kendaraan roda dua. Sepeda motor menjamur di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Tahun 1985, Jakarta sudah memiliki lebih dari 1 juta kendaraan bermotor.
Tukang parkir menjamur. Tapi bersamaan dengan itu, muncul fenomena “pak ogah”—penjaga parkir dadakan yang bekerja tanpa izin.
1990-an, dunia parkir berubah jadi ajang kekuasaan. Banyak wilayah dikuasai kelompok tertentu, melahirkan mafia parkir yang membagi-bagi wilayah kerja secara ilegal.
Rompi lusuh dan peluit tetap menjadi simbol, tapi kini sering disertai ancaman: “Kalau gak bayar, mobil bisa lecet.”
Abad 21: Antara Inovasi dan Ketimpangan (2000–Sekarang)
Masuk ke milenium baru, kota mulai berbenah. Pemerintah, khususnya di Jakarta, mencoba merapikan sistem parkir yang semrawut.
2007: DKI Jakarta melegalkan tukang parkir dengan sistem registrasi dan rompi resmi.
2015: Muncul aplikasi digital seperti eParking, QPark, dan layanan non-tunai berbasis barcode.
2020-an: Banyak mal mengganti petugas parkir dengan sistem tiket otomatis dan sensor kendaraan.
Namun fakta di lapangan berkata lain. Di pasar, tempat ibadah, dan pinggiran kota, tukang parkir manual tetap dominan. Mereka bahkan menjadi “penjaga informal” yang tidak hanya mengatur kendaraan, tapi juga menjadi penjaga keamanan lokal.
Fakta-Fakta Tak Terduga
Di Stasiun Gambir, satu keluarga sudah menjadi tukang parkir selama 50 tahun, sejak 1972.
Tarif parkir termahal di Indonesia tercatat di Plaza Senayan, Jakarta: Rp25.000 per jam.
Di Bali, saat high season, tukang parkir bisa mengantongi Rp500.000 per hari.
Bagi banyak orang, ini bukan sekadar pekerjaan, tapi warisan profesi.
Apakah Tukang Parkir Akan Punah?
Dengan kemajuan teknologi:
Mobil otonom yang bisa parkir sendiri mulai diuji coba.
Sistem parkir bawah tanah otomatis muncul di kota-kota besar.
Aplikasi reservasi slot parkir mulai populer.
Pertanyaannya: Apakah tukang parkir akan tersisih?
Beberapa ahli menyebut profesi ini akan bertransformasi, bukan menghilang. Dari tukang parkir menjadi manajer parkir digital. Mereka tetap dibutuhkan untuk mengatur, memandu, dan memverifikasin hanya saja dengan alat bantu teknologi.
Kisah-Kisah yang Menginspirasi
Mbah Suroto, 72 tahun, tukang parkir di Alun-Alun Yogyakarta, menyekolahkan tiga anaknya hingga lulus sarjana dari hasil menjaga parkir sejak tahun 1978.
Di Tebet, Jakarta Selatan, ada permukiman yang dikenal sebagai “Kampung Parkir”, karena 70% warganya bekerja sebagai tukang parkir.
Bagi mereka, ini bukan profesi musiman. Tapi identitas sosial, yang tumbuh dan diwariskan lintas generasi.
Simfoni Kota yang Sering Terlupakan
Tukang parkir sering dianggap “pelengkap jalanan” yang bisa diabaikan. Tapi jika kita telusuri, mereka adalah bagian dari simfoni kota—menyumbang ketertiban di tengah kekacauan, menjaga kendaraan yang bukan milik mereka, dan menyambung hidup dari senyum pemilik mobil yang tergesa.
Dari kacung penjaga kuda di zaman kolonial hingga operator parkir digital hari ini, profesi ini telah melewati zaman, rezim, dan teknologi. Dan mereka tetap bertahan.
Karena kota tanpa tukang parkir, seperti jalan tanpa rambu ramai, tapi tak tentu arah. (Mun)
-
EKBIS09/06/2025 10:30 WIB
Harga Emas Terjun Bebas, Antam Sentuh Rp 1,9 Juta per Gram
-
RAGAM09/06/2025 12:30 WIB
Luka di Tanah Kaya: Konflik Tambang di Indonesia dan Ketika Nikel Mencabik Raja Ampat
-
EKBIS09/06/2025 09:30 WIB
Harga Beras dan SPHP Masih Melambung Tinggi Hari Ini, 9 Juni 2025
-
NASIONAL09/06/2025 06:00 WIB
Wakil Ketua MPR: Hukum Tegas untuk Pelaku Pertambangan Ilegal di Raja Ampat
-
NASIONAL09/06/2025 07:00 WIB
Panas Raja Ampat: Golkar Ungkap Dalang di Balik Kritik Tambang yang Sasar Bahlil
-
POLITIK09/06/2025 09:00 WIB
Terganjal Usia? Pengamat Sebut Jokowi Lebih Masuk Akal Gabung PSI daripada PPP
-
POLITIK09/06/2025 12:00 WIB
Hindari Kericuhan 2029, PKS: RUU Pemilu Wajib Ketok Palu Tahun Ini
-
JABODETABEK09/06/2025 05:30 WIB
Hati-hati, Jakarta Diguyur Hujan Ringan Senin 9 Juni 2025