NASIONAL
PDIP Desak Pemerintah Hentikan Proyek Sejarah Nasional
AKTUALITAS.ID – Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) di Komisi X DPR RI dengan keras menolak dan mendesak pemerintah untuk segera menghentikan proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia. Permintaan tegas ini disampaikan oleh anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDIP, Bonnie Tryana, dalam rapat dengar pendapat dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
“Kami dari Fraksi PDI Perjuangan menyatakan, meminta proyek penulisan sejarah ini stop saja, dihentikan,” kata Bonnie dengan nada menekankan.
Penolakan ini bukan tanpa alasan kuat. Bonnie menjelaskan proyek ini mengandung risiko besar terjadinya pengaburan sejarah kelam bangsa, terutama yang berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu. Bonnie memaparkan tiga kekhawatiran serius yang mendasari permintaan fraksinya.
Kekhawatiran pertama adalah literal denial, atau penyangkalan secara langsung. Bonnie khawatir pemerintah akan secara terbuka mengingkari terjadinya berbagai pelanggaran HAM atau kejahatan negara yang pernah menimpa rakyat Indonesia di masa lalu.
Kedua, PDIP juga mencemaskan adanya interpretative denial, atau penyangkalan melalui interpretasi. Dalam hal ini, Bonnie menyebutkan kemungkinan pemerintah mengakui adanya pelanggaran HAM di masa lalu, namun kemudian berupaya mereduksi dampaknya atau bahkan membenarkannya melalui narasi tertentu yang dianggap menguntungkan pihak tertentu. “Jadi semacam pengingkaran juga. Bahkan mewajarkan peristiwa itu terjadi karena satu hal tertentu,” ujar Bonnie.
Kekhawatiran yang ketiga adalah implikatori denial, atau penyangkalan implikatif. Bonnie berpendapat bahwa pemerintah mungkin saja mengakui tragedi-tragedi masa lalu, tetapi kemudian abai dalam mengambil tanggung jawab moral maupun politik untuk menuntaskan kasus-kasus tersebut secara adil. “Sebagai negara tidak mau bertanggung jawab,” tegasnya.
Melihat dinamika yang terjadi belakangan ini, Bonnie secara khusus khawatir proyek penulisan ulang sejarah ini akan terperosok ke dalam bentuk interpretative denial. Ia melihat adanya potensi pengakuan terhadap pelanggaran HAM masa lalu, namun dengan upaya sistematis untuk menggiring makna dan substansinya ke dalam wilayah tafsir semantik yang bisa mendistorsi kebenaran.
Bonnie menekankan jika negara secara resmi mengakui terjadinya sebuah peristiwa kelam, maka konsekuensinya adalah negara juga harus mengakui keberadaan korban dan pelaku dalam peristiwa tersebut. Upaya untuk mengaburkan substansi sejarah hanya akan melanggengkan ketidakadilan dan luka bagi para korban.
“Jangan sampai nanti ada tuduhan ini sejarah ditulis berdasarkan perspektif pelaku dari peristiwa perkosaan massal itu,” pungkas Bonnie dengan nada khawatir, menyiratkan pentingnya menjaga keutuhan dan kebenaran sejarah dari sudut pandang korban. (Ari Wibowo/Mun)
-
EKBIS27/12/2025 19:18 WIBKAMMI Apresiasi Terobosan Kementan, 40 Ribu Kader Siap Kawal Swasembada Pangan
-
OLAHRAGA27/12/2025 20:00 WIBIndonesia Maju ke Final ASEAN Boys’ U-16 Futsal Championship 2025
-
NASIONAL27/12/2025 17:30 WIBRapat Syuriyah–Mustasyar PBNU Bersifat Final dan Mengikat
-
POLITIK27/12/2025 20:30 WIBDari Wamena, Roberth Rouw Ajak Warga Papua Pegunungan Jaga Indonesia Tetap Utuh
-
NUSANTARA27/12/2025 18:00 WIB10 Jembatan Bailey di Lokasi Bencana Sumatera Sudah Rampung Dibangun
-
OASE28/12/2025 05:00 WIBMakna Surat Al-Bayyinah: Pedoman Keimanan dan Balasan bagi Orang Beriman
-
NASIONAL27/12/2025 21:30 WIBMengenang Pahlawan Nasional Buruh, Kapolri Berziarah ke Makam Marsinah
-
RAGAM27/12/2025 18:30 WIBHidangan yang Dianggap Bawa Keberuntungan di Tahun Baru

















