Connect with us

DUNIA

PBB Diminta Ambil Alih Rencana Gaza, Pakar HAM Kritik Peran Tony Blair

Aktualitas.id -

Ilustrasi - Warga Palestina berjalan di atas puing-puing bangunan yang hancur akibat serangan udara Israel di daerah El-Remal di Kota Gaza pada 9 Oktober 2023. Naaman Omar/apaimages/WAA via Wikimedia Commons

AKTUALITAS.ID – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) disebut sebagai satu-satunya lembaga internasional yang sah untuk mengawasi masa depan Jalur Gaza, wilayah Palestina yang hingga kini masih terkepung akibat agresi Israel.

Pernyataan itu disampaikan Profesor Ben Saul, Pelapor Khusus PBB untuk HAM dan kontra-terorisme, saat berbicara di National Press Club of Australia. Ia menegaskan, bila pengawasan diserahkan kepada tokoh atau negara tertentu, legitimasi internasional tidak akan tercapai.

“Kalau mau pengawasan internasional yang sah, gunakan PBB. Itu seharusnya dijalankan sejak awal,” ujarnya.

Saul juga menyoroti rencana gencatan senjata Presiden AS Donald Trump yang diumumkan di Gedung Putih bersama PM Israel Benjamin Netanyahu. Rencana tersebut berisi 20 poin, termasuk penghentian perang, pembebasan sandera, serta pembentukan otoritas transisi untuk Gaza.

Namun, Saul menilai rencana itu terlalu bergantung pada Trump. Apalagi mantan PM Inggris Tony Blair dilibatkan sebagai tokoh penting, padahal rekam jejaknya di forum Quartet (Uni Eropa, Rusia, PBB, dan AS) pada 2002 dinilai gagal membawa perdamaian.

“Legitimasi PBB ada karena melibatkan semua negara anggota, bukan bergantung pada kehendak Donald Trump,” tegasnya.

Australia, kata Saul, juga mendapat sorotan karena baru mengakui Palestina bulan lalu, setelah desakan lebih dari 100 ribu warga yang turun ke Jembatan Sydney Harbour. Pengakuan itu diumumkan resmi dalam Sidang Umum PBB ke-80.

Pakar hukum HAM internasional asal Australia, Chris Sidoti, menambahkan perang Israel di Gaza berbeda dari konflik lainnya. Alasannya, dua juta warga Gaza tidak memiliki jalan keluar dari serangan.

“Di Ukraina atau Sudan, warga sipil masih bisa melarikan diri ke negara tetangga. Tapi di Gaza, tidak ada pintu keluar. Mereka terjebak di wilayah sempit, setengah luas Canberra,” ucapnya.

Sidoti menyebut sejak 7 Oktober 2023, serangan Israel sudah menewaskan lebih dari 66 ribu jiwa, mayoritas perempuan dan anak-anak. Warga yang tersisa kini menderita kelaparan, minim obat-obatan, rumah sakit lumpuh, dan anak-anak kehilangan akses pendidikan.

“Sejak hari pertama, operasi Israel memang ditujukan untuk penghancuran total Gaza. Inilah yang membuat konflik ini benar-benar berbeda,” tandasnya. (DIN) 

TRENDING