Connect with us

POLITIK

Virdika: Retreat Bukan untuk Pembangunan Daerah, tapi Strategi Politik Prabowo di 2029

Aktualitas.id -

Pintu gerbang Akmil di Magelang.(Foto: GoIndonesia)

AKTUALITAS.ID – Retreat kepala daerah yang digagas Presiden Prabowo Subianto menuai kritik dari berbagai kalangan. Pengamat politik dan Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Virdika Rizky Utama, menilai retreat ini berpotensi merusak desentralisasi dan merupakan langkah mundur bagi demokrasi.

Virdika khawatir retreat ini bukan sekadar ajang silaturahmi atau koordinasi teknis, melainkan bagian dari strategi politik membangun hierarki kekuasaan baru yang menempatkan kepala daerah sebagai subordinat pemerintah pusat.

“Retreat ini mengisyaratkan nostalgia pada era Orde Baru, ketika kepala daerah hanya menjadi kepanjangan tangan Jakarta. Padahal, pemilihan langsung kepala daerah adalah capaian besar demokrasi pasca-Reformasi, yang menjamin kepala daerah bertanggung jawab kepada rakyat, bukan kepada pusat,” ujar Virdika, Sabtu (22/2/2025).

Virdika menyoroti kontradiksi dalam langkah Prabowo. Sebagai presiden yang terpilih melalui mekanisme pemilihan langsung, Prabowo dinilai justru ingin menempatkan kepala daerah yang juga dipilih langsung oleh rakyat sebagai bawahan.

“Retreat semacam ini tidak hanya tidak relevan, tetapi juga berpotensi merusak sendi-sendi desentralisasi yang menjadi roh semangat Reformasi 1998,” ujarnya.

Virdika mengaitkan retreat dengan upaya membangun sentralisme birokratis. Menurutnya, retreat ini berisiko menjadi ritual legitimasi untuk normalisasi sentralisasi. Dengan mengumpulkan kepala daerah dalam forum tertutup, Presiden ingin menciptakan ilusi harmoni, padahal yang terjadi adalah pemaksaan kesepakatan.

Lebih lanjut, Virdika menilai retreat ini bukan semata untuk kepentingan pembangunan daerah, melainkan strategi politik jangka panjang Prabowo untuk Pemilu 2029. Ia menyebut setidaknya ada tiga kemungkinan agenda di balik retreat ini.

“Pertama, memetakan mana kepala daerah yang bisa menjadi sekutu dan mana yang harus dinetralisasi. Kedua, membentuk mesin politik di tingkat daerah untuk mengamankan suara pada Pemilu 2029. Ketiga, meredam potensi oposisi daerah agar mereka tidak bersekutu dengan calon lain,” jelasnya.

Dalam skenario ini, kepala daerah bukan lagi sekadar pejabat publik, tetapi bisa berperan sebagai operator politik bagi kepentingan elite pusat. “Ini menciptakan konflik kepentingan yang merendahkan martabat otonomi daerah,” tambahnya.

Virdika mengingatkan jika retreat semacam ini menjadi rutinitas, ada beberapa dampak negatif yang bisa terjadi. Di antaranya, melemahnya akuntabilitas kepala daerah, karena mereka lebih takut kepada pusat daripada kepada rakyat yang memilih mereka. Kemudian, inovasi daerah bisa mandek lantaran kebijakan lokal yang progresif akan dikorbankan demi patuh pada instruksi pusat. Selanjutnya, potensi korupsi sistemik meningkat, karena koordinasi tertutup antara pusat dan daerah bisa menjadi ajang negosiasi politik, bagi-bagi proyek, atau markup anggaran.

“Lebih parah lagi, sentralisasi ini bisa memperlebar ketimpangan daerah. Kepala daerah yang kritis terhadap pusat mungkin akan dijegal, sementara daerah yang patuh diberi bantuan seadanya,” pungkas Virdika.

Ia berharap pemerintah tetap mengedepankan koordinasi antara pusat dan daerah dalam semangat otonomi dan orientasi pada kepentingan masyarakat secara luas. (Mun/Yan Kusuma)

TRENDING

Exit mobile version