Connect with us

Berita

Kasus Covid-19 Tembus 200 Ribu, Epidemioloh Unair Dorong PSBB Diterapkan Lagi

AKTUALITAS.ID – Epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengusulkan agar pemerintah menerapkan kembali karantina wilayah untuk menekan penularan kasus Covid-19 yang kini sudah menembus angka 200 ribu. Diketahui, kasus konfirmasi positif Virus Corona per Selasa (8/9) mencapai 200.035 orang, atau bertambah 2.880 kasus dari hari sebelumnya. Sebanyak 142.958 orang di antaranya dinyatakan sembuh dan […]

Published

on

AKTUALITAS.ID – Epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengusulkan agar pemerintah menerapkan kembali karantina wilayah untuk menekan penularan kasus Covid-19 yang kini sudah menembus angka 200 ribu.

Diketahui, kasus konfirmasi positif Virus Corona per Selasa (8/9) mencapai 200.035 orang, atau bertambah 2.880 kasus dari hari sebelumnya. Sebanyak 142.958 orang di antaranya dinyatakan sembuh dan 8.230 orang meninggal.

Windhu mengatakan penerapan karantina wilayah sesuai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan itu bisa membatasi gerak dan aktivitas penduduk yang berpotensi semakin menyebarkan virus.

“Berarti semua batasi pergerakan, sesuai UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang karantina kesehatan, kita karantina wilayah, terutama daerah zona merah-oranye, testing, tracing, massif di seluruh daerah,” ujarnya melalui sambungan telepon, Selasa (8/9).

Dihubungi secara terpisah, Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis Miko mengatakan upaya karantina wilayah berupa lockdown sulit dilakukan di Indonesia jika melihat kondisi perekonomian masyarakat.

Jika itu diterapkan, penduduk tidak dapat keluar rumah untuk bekerja. 267 juta penduduk pun mesti mendapatkan santunan untuk biaya hidup sehari-hari.

“Jika berdasarkan pada Undang-undang Karantina Kesehatan, maka semua penduduk harus diberikan bantuan, 267 juta penduduk itu disantuni selama lockdown. Untuk menjamin kehidupan warga saja sudah berapa? bisa bangkrut,” cetusnya melalui sambungan telepon, Rabu (9/9).

Menurutnya, intervensi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini cukup dengan melakukan PSBB transisi, terutama di daerah dengan angka kasus tinggi.

“Yang dilakukan adalah upaya pencegahan maksimal PSBB transisi itu udah tepat saat ini. Jadi intervensi kita enggak perlu sampai lockdown, cukup dengan PSBB di daerah yang tinggi kasus,” ucapnya.

Pakar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Syahrizal Syarif mengatakan pemerintah bisa menerapkan pembatasan pergerakan penduduk di daerah dengan angka kasus tinggi dan protokol pencegahan Covid-19.

“Tidak perlu intervensi seperti karantina wilayah, yang perlu dilakukan cukup batasi pergerakan penduduk, lakukan langkah 3M (memakai masker-menjaga jarak-mencuci tangan) kalau disiplin dilakukan maka optimis kasus ini akan turun,” tuturnya.

Syarif pun mengakui 200 ribu kasus pada September bukan hal yang aneh. Hal itu, katanya, sudah bisa diprediksi dengan menghitung rata-rata penambahan kasus harian Covid-19.

“Kita engga perlu panik melihat kasus 200 ribu. Situasi ini sudah kita perkirakan. Dengan rata-rata tambahan kasus [Corona] 3.000 sehari maka pertengahan Desember [Indonesia] bisa [mencapai] 500 ribu [kasus],” ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mengaku bakal melakukan pengetatan atau penutupan kembali jika terjadi kenaikan kasus baru Virus Corona.

“Perlu saya ingatkan jika dalam perkembangan ditemukan kenaikan kasus baru, kenaikan kasus, maka langsung kita lakukan pengetatan atau penutupan kembali,” ujarnya, di gedung BNPB, Jakarta, Rabu (10/6).

Dia tidak merinci soal bentuk pengetatan atau penutupan itu.

Sejauh ini, pemerintah memberikan izin pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di berbagai daerah. Kebijakan ini membatasi akses dan kegiatan warga di berbagai sektor, seperti perkantoran dan transportasi, untuk mencegah penyebaran Corona.

Namun, sebagian besar daerah kini sudah menyetop kebijakan PSBB menjadi adaptasi kebiasaan baru, PSBB transisi, atau bahkan tak ada pembatasan sama sekali.

OASE

INFOGRAFIS

WARGANET

Trending